Istimewa

Mengingat yang Silam, Menggurat yang Menjelang

Kisah Para Ibu yang Ditinggal Para Lelaki karena Vokal Menyuarakan Keadilan..

Setiap tanggal 22, hari Ibu dibicarakan orang dengan sukacita. Pelbagai pengharagaan dan puja-puji terhadap Ibu diberikan orang. Menjadi Ibu amatlah berat, terutama bagi Ibu-ibu yang berjuang mengikis dendam dan amarah pada negara yang telah memisahkan mereka dengan anak/suami yang mereka cintai.

kutundukkan kepalaku

kepadamu ibu-bu

hukum yang bisu

telah merampas hak anakmu..

…kepada penindas

tak pernah aku membungkuk

aku selalu tegak

(Tujuan Kita Satu Ibu, 1997)

Kata-kata Wiji Thukul tertuang dalam sajak “Tujuan kita satu Ibu” itu begitu telak menghujam.  Bait-bait di puisi itu ditujukan kepada kaum Ibu agar tabah dan yakin dengan jalan juang ditempuh kaum lelaki yang mereka cintai.

Konsekuensi disiksa, dibunuh atau dihilangkan, secara paksa harus diterima. Kesuraman itu menimpa sang istri pembuat puisi, Siti Dyah Sujirah atau yang akrab disapa Sipon.

Suara bunyi mesin jahit menderu saat saya tiba di kediamannya di Kampung Kalangan, Kelurahan Jagalan, Surakarta, Rabu (9/12). Sudah hampir 17 tahun Thukul hilang tanpa jejak. Hidup dan matinya tak jelas.

Lewat orasi dan puisi Thukul sering membuat merah kuping para jenderal di Jakarta. Ia pun jadi target operasi. Untuk dibungkam kemudian dihilangkan. Dibunuh atau tidak siapa yang tahu. Ketidakpastian Thukul yang membuat keluarga ini menanggung rasa beban dan selalu dihantui rasa penasaran.

Maklum saat dia hengkang, penyair cadel  itu pergi tanpa harta berlimpah. Tanpa kekayaan dan hanya membuat “susah”.  Dari pernikahan Sipon dengan Thukul lahirlah Fitri Nganthi Wani, 26 dan Fajar Merah, 22.Lalu sesudah Thukul menghilang, Sipon harus membesarkan anaknya seorang diri.

Ia banting tulang bekerja kesana kemari, hingga akhirnya kini menetap bekerja sebagai penjahit. Tapi bukan berarti ia hidup nyaman, ia punya hutang yang tersebar dimana-mana. Besarannya mencapai belasan juta.

Tapi selain beban materi, tanggungan mental lebih berat ia rasakan. “Susah gak ada suami, sebagai orang tua aku harus jadi ibu, jadi bapak, jadi teman secara sekaligus,” dengan ramah dia memulai perbincangan. “Aku rasa ada semacam kedewasaan dalam dua anak aku. Mereka selalu mengkritisi saya bahwa tak bisa jadi seorang bapak. Peran itu memang tak tergantikan,“ katanya lirih.

Sudah 17 tahun berlalu, beban masa lalu tampaknya tak bisa jauh-jauh pergi dari keluarga ini. Sipon mengidap penyakit skizofernia, gangguan kejiwaan yang tiba-tiba menghinggap. Kadang dia melamun dan meracau seorang diri. Hidup dalam imajinasinya sendiri. “Ibu kadang gitu, depresi masa lalu,” kata Wani, anak sulung di keluarga ini.

“Dalam hatiku selalu bertanya-tanya dia itu dimana? Dulu saat selalu kepikiran dia disekap, aku selalu gak mau makan.  Ya tuhan kok, aku cinta sama dia, kadang benci diriku sendiri. Gak dinafkahi, gak digauli tetap saja cinta. Sampai gara-gara ini aku dijauhi keluarga,” kata Siponlagi.

“Tapi fase sekarang, aku lebih pasrah, jalani hidup apa adanya, enjoy lakukan aktifitas rumah,  dan selesaikan tanggung jawab.

Fase kesedihan bergejolak itu kini menular kepada Fajar Merah. Sosok yang perawakan dan perangainya mirip persis Thukul ini kini jadi aktivis menutut penuntasan masalah HAM di Indonesia.

Lewat band Merah Bercerita diapun memusikalisasi puisi-puisi ayahnya menjadi sebuah album lagu. Kabar buruk menghinggap, saat saya datang ke sana, Fajar sedang terbaring di Rumah Sakit. Dia depresi dan psikis sedikit terganggu.

Pesan pendek sang bapak lewat sajak: “bapakmu harus pergi/kalau teman-temanmu tanya/kenapa bapakmu dicari-cari polisi/jawab saja:/karena bapakku orang berani” selalu membayang dalam pikiran Fajar. “Dia hidup di bawah bayang-bayang kesedihan bapaknya.” Kata Sipon sambil menghela nafas.

“Aku selalu ingatkan ke Fajar jangan ada dendam mengenai bapaknya. Dendam tak munculkan karya baik. Malah jadi karya emosi. Pemberontakan yang dimunculkannya adalah pemberontakan dalam dirinya sendiri bukan untuk orang-orang. Dia seolah frustasi ingin mati muda karena apa yang dia perjuangkan tak dia dapatkan,” sambil berbicara, tatapan Sipon polos memandang langit biru di atas rumahnya.

***

Novel “Ibunda”karangan sastrawan “kiri” Maxim Gorky yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer itu terlihat mencolok diantara deretan ratusan buku pada rak kayu jati milik Maria Catarina Sumarsih, ibu dari BR Norma Irawan – korban Tragedi Semanggi 1, 1998 silam.  Saya mengunjungi rumah dia di bilangan Meruya Selatan, Jakarta Barat, Senin lalu (15/12).

Saya tertarik dengan buku tebal bersampul merah menyala itu. Relevansi novel ini dengan kehidupan Sumarsih amatlah erat. Sumarsih adalah gambaran sang karakter utama, Pelageya Nilovna di dunia nyata. Sebagai seorang ibu, Pelageya harus dipisahkan dengan sang anak, Pavel Vlassov yang aktifitas pergerakan politiknya dengan membela kaum buruh dituding mengancam eksistensi negara – dalam hal ini Kerajaan Tsar Rusia pada akhir abad ke-20.

Perpisahan dan kekerasan yang disaksikan secara langsung bukan membuat Pelageya terjebak dalam kesedihan yang berlarut. Pengalaman tersebut mengubahnya jadi seorang revolusioner yang memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan.

Seorang ibu yang dulunya didapur lalu jadi singa panggung. Lantang menyuarakan negara yang abai akan nilai-nilai kemanusiaan. “Ceritanya mirip dengan kisah saya,” perempuan bertubuh kecil, berambut putih keabu-abuan, memulai percakapan.

Meski terlihat tangguh, Sumarsih sebenarnya rapuh. Jika suatu saat anda ditanya sebesar apa cinta ibu kepada anaknya, maka ceritakanlah kisah Sumarsih ini. Sudah hampir 17 tahun Wawan pergi. Tapi dia tak pernah lupa.

Ada sebuah kebiasaan di keluarga ini yang selalu menyimpan sendok dan piring telungkup di meja makan serta satu kursi kosong yang sengaja tak pernah diduduki. Air putih dalam gelas selalu diisi tiap hari. “Siapa tau saja dia pulang dan ingin makan. Jadi, Ia tinggal menggunakan piring yang tersedia lalu mengambil nasi serta lauk dan sayur yang tersedia di meja makan ini,” suaranya tersedan menahan tangis.

Saat masih sehat dan kuat melakukan puasa, tak jarang setiap berbuka Sumarsih melakukannya di depan pusara Wawan. Aktifitas ini dilakukannya setelah pensiun dari pekerjaannya di Sektariat DPR. “Dari 2008 sampai 2011. Saya berhenti gara-gara mata saya dua-duanya kena glaukoma,” ucapnya.

Banyak pihak bertanya untuk apa Sumarsih melakukan semua itu? Seolah dia tak terima dengan takdir yang menimpannya. Dengan lantang dia menjawab: “Saya merasa wawan tidak meninggal, dia masih ada bersama kami, Wawan tetap ada dihati saya. wawan selalu bersama-sama dengan saya.”

Setelah menghela nafas, dia kembali berkata “Menuntut itu hak. Hak bagi orang tua. apalagi ibu yang melahirkan, ibu yang membesarkan. Mana ada orang yang anaknya dibunuh ikhlas,” jawaban ini ditujukan untuk mereka-mereka yang sering meledek seolah dia tak pernah ikhlas atas takdir tuhan.

Suciwati, istri dari Munir Thalib –aktivis KontraS yang diracun 2004 lalu juga merasakan perasaan yang sama.  “Kepergian Munir amat sangat menyakitkan, kita tidak boleh membiarkan orang yang dibunuh karena dia kritis terhadap mereka yang ingin melanggengkan kekuasaan,” ucapnya, saat bercakap dengan saya lewat telepon.

Suaranya serak, Suci tampaknya sedang sakit. “Ini urusan kehidupan manusia. Kita harus bersuara. Para ibu harus vokal menyuarakan ini,” kata dia melanjutkan. Kejenuhan dan kelelahan terasa menginggapi. Namun itu konsekuensi yang sudah diprediksikan sejak awal-awal. Apalagi penegakan hukum dan HAM di negeri ini yang mesti tebang pilih.

****

Cintalah yang jadi dasar Sipon, Sumarsih dan Suciwati mau menunggu dan tak lelah menuntut. “Selama tuhan memberi kehidupan kekal abadi saya tak akan lelah menunggu. Kalau kita bilang capek menunggu, ya mati sajalah kita,” kata Sipon, sambil terkekeh.

Dengan lantang Sumarsih berbicara. “Saya mencintai wawan. Cinta itu ditransformasi jadi sebuah perjuangan untuk penghormatan dan perlindungan HAM. Hitam bagi saya bukan lambang dukacita, tapi keteguhan cinta saya terhadap Wawan dan penegakan HAM. Cinta tak mengenal batasan waktu.”

Sungguh kejilah mereka yang terus membiarkan ibu-ibu ini terus menunggu. Proses penyelesaian HAM di Indonesia masih gelap, termasuk kasus pasca Reformasi.  Jika dibiarkan luka yang menganga itu hanya akan menggurat masa depan.

Pada kenyataanya jika pelanggaran HAM itu tak diselesaikan, maka pelanggaran-pelanggaran baru akan selalu terus terjadi.  “Masa lalu itu cerminan masa depan dan masa kini. jika masalah masa lalu tak diselesaikan, untuk sekarang dan yang akan datang akan terus beruntut. sekarang kekerasan, nanti juga kekerasan,” Sumarsih menjelaskan.

Jangan sampai pelanggaran HAM ini menimpa ibu-ibu lainnya. Hingga tabiat itu jadi begitu biasa. Seperti sebuah berita kematian, yang menyedihkan bagi seseorang, tetapi tak berarti sama sekali bagi yang lain.

 

*Pada mulanya naskah ini direncakan terbit di Harian Jawa Pos untuk menyambut edisi hari ibu 22 Desember 2015. Namun urung dinaikan karena ada kebijakan redaksi yang menghendaki untuk memberi ruang pada naskah lain. 

Tinggalkan komentar