Ir Soeratin Undercover (bagian 3-habis) – Kepiluan di Pengujung Usia

Beberapa pekan setelah Soeratin meninggal, terbitlah sebuah laporan yang salah satu paragrafnya berbunyi begini:

“Kami mendatangi alamat tersebut dan memang keadaan perumahan Soeratin sangat menyedihkan. Ruangan itu memang bekas garasi mobil ukuran 4 x 6 meter. Di dalam ruangan itu dibagi dua dengan gedeg, Ir Soeratin tinggal bersama istrinya di mana mereka tidur, makan dan mencuci pakaian. Kamar mandi dan kamar kecil yang mereka pergunakan adalah kepunyaan rumah no. 33 dan letaknya pada jarak 25 meter. Di waktu hujan mereka akan kebasahan, bila perlu mereka pergi ke kamar mandi untuk berteduh.”

Laporan itu terbaca dalam artikel berjudul “Mencari Tokoh Pendiri PSSI Soeratin” yang rilis di Majalah Sepakbola PSSI no. 2 tahun 1959. Artikel itu diterbitkan ulang nukilannya pada buku ulang tahun PSSI yang ke-50 yang jatuh pada 1980. Karena buku itu diterbitkan oleh PSSI sendiri, pembaca bisa menganggapnya sebagai “versi resmi terhadap kepilauan masa tua sang pendiri”.

Seperti yang sudah saya uraikan pada dua bagian sebelumnya, bagaimana Soeratin melewati hari demi hari setelah hijrah ke Bandung masih banyak diselimuti kabut. Tidak banyak laporan, dokumen, arsip atau laporan surat kabar yang bisa dijadikan rujukan untuk menggali kehidupan Soeratin di Bandung. Baca lebih lanjut

Ir Soeratin Undercover (Bagian 2) – Teka Teki Silang dan Cinta yang Terlarang

Istri kedua Soeratin adalah perempuan Belanda itu sudah bisa dipastikan. Tapi benarkah nama perempuan itu Johana? Mari kita periksa!

Pada masa di sekitar revolusi, nama itu tak terlalu asing ditelinga kaum republiken. Sesosok wanita Belanda berdarah Yahudi yang begitu disegani dan dicintai banyak pejuang. Nama lengkapnya, Johanna Petronella Mossel. Sindhunata dalam buku Segelas Beras untuk Berdua bercerita sedikit hikayat Johanna.

Dia istri kedua Ernest Douwes Dekker, salah satu anggota tiga serangkai pendiri Indische Partij yang terkenal itu. Indische Partij memang dideklarasikan di Bandung, walau dalam perkembangannya kemudian gagal mendapatkan pengesahakan sebagai organisasi resmi yang diakui karena ditolak pemerintah kolonial. Di Bandung, Johanna mengurusi Ksatrian Instituut, sekolah untuk kaum bumiputera, Tionghoa dan Indo-Eropa. Sikapnya yang terlihat pro pada semangat nasionalisme membelot Johanna dibenci oleh orang-orang Belanda.

Pasca kemerdekaan,setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, Belanda kembali ke Indonesia, mencoba mengembalikan tatanan kolonial seperti sebelum Jepang masuk. Alih-alih menyambut kedatangan bangsanya sendiri dengan suka cita, Johanna malah menyambut kedatangan Belanda dengan dengan perlawanan gerilya.  Aktifitasnya di Bandung Utara bersama para tentara dan laskar-laskar  membuat Johanna dikenal di seantero Jawa Barat, khususnya di kalangan pejuang.

Nama Johanna sebagai istri Soeratin muncul dari pengakuan eks anak buah Soeratin saat bertugas di Nagreg yaitu Soeparwoto yang tertuang dalam buku karya Edi Elison. Saya meragukan pengakuan dan ingatan sang prajurit yang dikutip begitu saja oleh Edi Elison.

Nama Johana yang diucapkannyabesar kemungkinan adalah Johanna Petronella Mossel dan bukan bukan sosok perempuan Belanda yang menjadi pasangan hidup Soeratin selama bermarkas `di Nagreg.Lantas siapa nama nyonya Soeratin ini? Baca lebih lanjut

Istimewa

Ir Soeratin Undercover (Bagian 1) – Soeratin dan Sepenggal Episode Masa Revolusi

Sahro masih ingat beberapa bagian dari peristiwa pemakaman itu.Dari jarak 50 meter, dengan peluh di badan dan cangkul di bahu, ia menyaksikan prosesi pemakaman seseorang yang dilihatnya sendiri, pemakaman seorang tokoh penting dalam sejarah sepakbola Indonesia: Ir. Soeratin.

Tidak mudah mencari informasi tentang pemakaman seorang tokoh di masa lalu yang saat meninggalnya pada 1959 sudah kadung hidup dalam kesepian dan kesunyian. Sama sulitnya mencari tahu bagaimana hari-hari terakhir kehidupan Soeratin yang rudin dan getir. Saya sempat mendengar cerita betapa pendiri PSSI itu hidup dengan kemelaratan yang menyedihkan, sampai-sampai tak mampu lagi membeli obat untuk sakitnya.

Sahro mencoba membongkar lapisan-lapisan ingatannya…

Sahro adalah penggali kubur di Pemakaman Sirnaraga. Usianya kini sudah 91 tahun. Tiga perempat masa hidupnya diabdikan sebagai penggali kubur di sana. Sudah ribuan jenazah yang liang lahatnya dia siapkan.

Bagi penggali kubur sepertinya, kematian seseorang adalah rezeki. Kematian datang, maka pekerjaan pun datang. Selalu begitu dan begitu. Orang-orang mati datang dalam kehidupannya seperti angin lalu. Karena itu pemakaman Soeratin tak begitu membekas dalam benaknya, terutama karena Soeratin mati sebagai orang biasa.Dia tak menyaksikan para pembesar, para petinggi, orang-orang gedongan dan terkenal ada yang datang dalam proses pemakaman Soeratin. Semuanya berlangsung dengan datar, jauh dari hiruk pikuk, dan tanpa tembakan salvo penghormatan.

Dari penggalan ingatan Sahro itu, bisa ditarik kesimpulan betapa Soeratin memang meninggal dalam keadaan yang sunyi, jauh dari gempita penghormatan. Hanya segelintir orang yang ikut memakamkan Semua warga biasa saja. Tak lebih dari belasan.Jumlah pastinya Sahro sudah lupa. Baca lebih lanjut

Istimewa

Dari Sebes Hingga Pogacknik: Menerjemahkan Sosialisme ke dalam Taktik Sepakbola

“Selalu ada pemikiran di balik sebuah tendangan,” kata non-flying Dutchman, Dennis Bergkamp.

Sofistikasi yang disuguhkan Bergkamp ini mencoba meyakinkan siapa pun kalau urusan sepak menyepak si kulit bundar tak melulu soal fisikal, bukan hanya aspek motoric atau semata perihal ilmu gerak. Sepakbola juga merupakan aktivitas kognitif, melibatkan pikiran, dan mengerahkan intelijensia.

Ini tak sesederhana kemampuan mengambil keputusan dalam waktu yang demikian pendek, dalam tempo sepersekian detik. Ini boleh jadi melibatkan sesuatu yang lebih sublim: bagaimana merumuskan sebuah taktik sepakbola yang bukan hanya ampuh dan mematikan, tapi juga mencerminkan ideologi politik? Baca lebih lanjut

Asian Games dan Silang Sengakarut Sepakbola Indonesia

Hari senin nanti, Timnas U-23 akan memulai laga perdana di ajang Asian Games yang digelar di Seoul, Korea Selatan. Keberangkatan mereka pada awalnya banyak menuai pro dan kontra. Mengingat pesimisme berlebih kepada tim ini yang diprediksi memang tak akan berbicara banyak jika menilik prestasi sepakbola kita di kancah Asia Tenggara.

Dalam sejarah sepakbola kita, Asian Games memang selalu demikian. Asian Games sebenarnya bisa diajukan sebagai salah satu bukti silang sengkarutnya sepakbola kita.

Jika saya bertanya setinggi apa prestasi yang pernah didapat timnas Indonesia, apa jawabannya? Jangan sebut Piala Dunia 1938 toh timnas yang berangkat bangga mengaku sebagai seorang Hindia Belanda bukan Indonesia. Di ajang Piala Dunia, nama Indonesia hanya pernah sekadar “hampir” saja. Tapi “hampir” bukanlah prestasi. “Hampir” takkan dicatat dalam sejarah. “Hampir” tak perlu diingat dan “hampir” bukan kebanggaan.

Sekarang kita pindah ke ruang lingkup yang lebih kecil saja yaitu benua Asia. Lantas, apa prestasi tertinggi kita di kancah asia? Pada Piala Asia, misalnya, ada prestasi? Ah sepertinya tidak. Baca lebih lanjut