Istimewa

Mas Hinca dan Mafia Pengaturan Skor yang Katanya “Non-Indonesia”

Saat ini saya sedang melahap buku Declan Hill yang berjudul “The Fix: Organized Crime and Soccer” Declan-lah sosok yang membuat saya ingin kembali terjun sebagai wartawan sepakbola. Declan adalah wartawan investigator yang dikenal ahli dalam soal match fixing di dunia olahraga. Dia kerap diundang sebagai pembicara dan konsultan klub, federasi maupun pengelola liga.

Dalam buku The Fix yang dia tulis, Declan banyak membahas bagaimana alur match fixing itu terjadi. Dalam investigasi yang dilakukannya selama bertahun-tahun itu, Declan seringkali bolak-balik ke Asia. Kenapa Asia? Maklum di sana lah para pengatur skor itu bermukim. Dan tak tanggung-tanggung dari Asia pula, pertandingan liga-liga eropa, liga Champions atau bahkan Piala Dunia bisa di atur.

Barusan saya mendengar Tuan Hinca Panjaitan berujar bahwa match fixing yang mengatur persepakbolaan Indonesia berasal dari negara-negara asing. Benarkah itu? Bisa jadi, bisa tidak. Baca lebih lanjut

Istimewa

Dari Sebes Hingga Pogacknik: Menerjemahkan Sosialisme ke dalam Taktik Sepakbola

“Selalu ada pemikiran di balik sebuah tendangan,” kata non-flying Dutchman, Dennis Bergkamp.

Sofistikasi yang disuguhkan Bergkamp ini mencoba meyakinkan siapa pun kalau urusan sepak menyepak si kulit bundar tak melulu soal fisikal, bukan hanya aspek motoric atau semata perihal ilmu gerak. Sepakbola juga merupakan aktivitas kognitif, melibatkan pikiran, dan mengerahkan intelijensia.

Ini tak sesederhana kemampuan mengambil keputusan dalam waktu yang demikian pendek, dalam tempo sepersekian detik. Ini boleh jadi melibatkan sesuatu yang lebih sublim: bagaimana merumuskan sebuah taktik sepakbola yang bukan hanya ampuh dan mematikan, tapi juga mencerminkan ideologi politik? Baca lebih lanjut

Istimewa

Livorno: Benteng Terakhir Komunisme di Italia

Awan hitam pekat membumbung tinggi di langit stadion Armando Pichi, Livorno, 24 April 2014. Suasana gelap tak karuan. Matahari enggan muncul, padahal jam masih menunjukan pukul satu siang.Kala itu Livorno sedang menjamu Lazio. Alam seolah menghendaki bahwa pertandingan ini bukanlah pertandingan sepakbola biasa.

Gelap yang mencekam seolah menggambarkan kebencian Livorno pada Lazio.Begitupun sebaliknya. Ini bukanlah pertandingan antara 11 orang melawan 11 orang di lapangan, ada dua ideologi yang meresap dan selalu identik dengan dua klub ini. Dua ideologi yang sempat saling baku hantam selama perang dunia II: Komunisme versus fasisme.

Tak pernah ada yang memungkiri kefasisan fans Lazio. Mereka selalu membanggakan sejarah kedekatan mereka dengan “El Duce” Benito Mussolini. Kebencian pada komunispun selalu diumbar. Sebagai seorang fans Lazio, saya sering mendengar Ultras Curva Nord menyanyikan lagu berjudul “Avanti Ragazzo di Buda”.

Lagu ini adalah lagu anti komunis yang populer di kalangan kelompok ultra sayap kanan pada tahun 1956. Lirik lagunya berisikan dukungan terhadap perjuangan rakyat Hungaria melawan pemerintahan komunis Hungaria yang didukung Uni Soviet.

Melawan Livorno, sambil mengangkat tangan kanan ala salam fasis, lagu ini didendangkan dengan keras oleh para Laziale. Baca lebih lanjut

Istimewa

Piala Dunia sebagai Momentum Perlawanan Rakyat Iran

Banyak orang yang kecele menganggap Iran adalah negara konservatif yang tertutup dan terkucilkan dari dunia luar. Itu tentu saja salah besar.  Iran kini adalah negara maju yang berkembang secara pesat baik itu dari sisi teknologi, pendidikan, budaya maupun olahraga.

Angin kebebasan kini telah berhembus kencang ke negara Persia itu. Munculnya sosok pemimpin yang lebih moderat yakni Hassan Rouhani ditengarai jadi penyebab hal itu terjadi.

Sikap Rouhani yang lebih moderat ini tentu saja sebuah anomali, mengingat Rohaeni adalah salah satu orang terdekat dan pengusung Ayatollah Khoemeini dalam revolusi Islam Iran tahun 1979. Berbagai jabatan militer, mulai dari  anggota Dewan Tinggi Pertahanan, komandan Pertahanan Udara hingga wakil komandan Angkatan Bersenjata pernah dia emban. Kesimpulannya, Rouhani adalah loyalis Republik Islam Iran sejati – termasuk kebenciannya terhadap segala hal yang datang dari barat. Baca lebih lanjut

Dinamika Politisasi Persib dari masa ke masa

Sepakbola dan Politik di Indonesia pada khakikatnya adalah sebuah simbiosis mutualisme yang saling berkaitan dan menguntungkan satu sama lainnya. Terlebih di era kebablasan Demokrasi saat ini. sepakbola adalah salah satu alat efektif dari sekian banyak alat untuk mengumpulkan massa.

Dalam sejarahnya pun di awal abad 20, di Sumatera Utara pernah ada suatu klub lokal yang menawarkan dirinya kepada politikus Belanda untuk menjadikan klub tersebut sebagai ajang kampanye. hal ini membuktikan bahwa memang politisasi sepakbola adalah sesuatu hal yang lumrah di negeri ini, yang tentunya diturunkan dari generasi ke generasi.

Disisi lain, pengelolaan sepakbola kita yang masih amatir mau tak mau harus membuat sepakbola tak bisa lepas dari keberadaan politisi yang mempunyai gold and power. Untuk mendapatkan dana segar APBD tentunya butuh peran politisi, untuk dipermudah segala izin keamanan dan tetek bengeknya  perlu politisi, untuk mempermulus raihan gelar pun perlu dan perlu adanya politisi. Suatu alasan logis kenapa sepakbola Indonesia tak bisa lepas dari keberadaan politik. Baca lebih lanjut

Jendral yang Abadi dalam Perseteruan Real Madrid-Barcelona

Dalam laga derby El Classico, adakah tokoh antagonis yang sering disebut-sebut selain Francisco Franco Bahamonde?

Padahal, kubu Real Madrid menolak untuk diasosiasikan dengannya, sementara Barcelona menaruh sakit hati padanya. Tapi, jika kedua klub itu sama-sama membenci Franco, mengapa nama sang Jendral selalu hadir dan memantik api pertikaian setiap el clasico akan digelar?

Franco sendiri kerap dikaitkan dengan penindasan bangsa Catalunya dan sering dibilang sebagai bangsat Castilia yang  habis-habisan pro-Real Madrid. Namun apakah betul itu demikian?

Jimmy Burns, penulis buku La Roja: Historian Spanish Football, kepada majalah Time menegaskan bahwa menyebut Franco sebagai fans Real Madrid itu adalah sebuah ironi. Karena pada dasarnya Franco adalah penggemar Athletic Bilbao. Baca lebih lanjut

Dunia Politik dan Sepakbola di Negeri Para Mullah

Pengamat politik Timur Tengah, Bernard Lewis dalam bukunya berjudul the Middle East memaparkan Revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatollah Khoemeini tahun 1979 disebut sebagai the first electronically operated revolution.

Kendati diasingkan ke Irak, lalu dipindah ke Paris. Memanfaatkan perkembangan teknologi, Khoemeini dapat terus membakar semangat perlawanan jutaan rakyat Iran, yang jaraknya ribuan mil dari tempatnya berada. Bangsa yang gemar berdemonstrasi ini pun tumpah ruah ke jalan menuntut rezim Syah Pahlavi mundur.

10 Februari 1979, Revolusi Islam Iran dinyatakan menang, Khoemeini pun pulang kampung dan menjadi kepala tertinggi pemerintahan.

Kejatuhan rezim dinasti monarki Pahlavi menurut Bernard Lewis adalah kulminasi dari revolusi pertama dalam sejarah umat manusia yang dibantu oleh teknologi; rekaman kaset dan telepon. (Kondisi itu terjadi 24 tahun silam saat dimana teknologi informasi belum secanggih sekarang) Baca lebih lanjut

Ultras Ukraina dan Keberpihakan Politik pada yang Tertindas 

Ada Hantu berkeliaran di Ukraina – Hantu itu bernama Ultras.

Kejadian di Mesir, Tunisia, Libya dan Turki adalah batu tapal yang mengingatkan bagaimana suporter sepakbola dapat dijadikan tempat yang nyaman untuk mengorganisir protes politik massa.

Di era modern, suporter sepakbola atau kelompok Ultras jamak melibatkan diri dalam hal-hal berbau pergerakan politik massa. Keberadaan mereka layaknya sebuah front gerakan politik. Keterorganisiran diri di antara mereka membuat hal itu menjadi mudah. Para Ultras keluar dari cangkang identitas mereka sebagai suporter dan sejenak melupakan kisah-kisah perseteruan di dalam stadion.

Banyak fans-fans yang bermusuhan dari banyak kubu kemudian bersatu dengan dasar kesamaan keinginan untuk melakukan perubahan politik, turun ke jalan dan kompak meneriakan yel-yel “rezim turun!”  bersama para demonstran lainnya. Baca lebih lanjut

Ketika FIFA Mendompleng Nama Baik Mandela

Mendengar FIFA mengagungkan Nelson Mandela layaknya mendengar penyair cabul yang berkhotbah tentang kemuliaan wanita. Sebuah omong kosong yang terasa basi.

Dalam teori, sepakbola dan cita-cita Mandela yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan persamaan hak atas semua manusia semestinya berjalan seiring. Sepakbola memang (terlihat) membuka ruang cita-cita sosok “Madiba” tersebut jadi kenyataan.

Tak heran jika FIFA lalu mengkultuskan sosok Mandela. Bahkan Sepp Blater sendiri menyebut Mandela sebagai sahabat dekatnya. Atau, lihat bagaimana FIFA yang selalu mengidentikkan diri mereka sendiri sebagai Mandela-nya dunia olahraga. Dengan jargon-jargon seperti anti rasisme dan anti politik, FIFA mempopulerkan diri sebagai penjaga kesucian sepakbola.

Salah satu peran sepakbola yang dipromosikan adalah “to change lives for the better”.

Sayang, falsafah dan perjuangan Mandela hanya dijadikan seremonial di atas lapangan hijau dan di depan corong kamera media. Di balik sorot media itu, malah kebijakan-kebijakan FIFA yang bahkan bertolak belakang dengan jiwa Mandela. Baca lebih lanjut