Umberto Eco : Piala Dunia dan Kemegahannya.

Banyak pembaca yang murka melihat bagaimana saya mendiskusikan olahraga sepakbola yang terhormat dengan memisahkan, rasa jengkel, dan (oh baikah) dengki hati – akan melabuhkan kecurigaan secara vulgar bahwa saya tidak mencintai sepakbola karena sepakbola tidak mencintai saya. Sebab, semenjak awal masa kanak-kanak hingga menginjak dewasa, saya termasuk ke dalam kategori mereka yang pada saat menendang bola – dengan asumsi bahwa mereka mampu menendang bola – serta-merta mengirim bola tersebut ke gawangnya sendiri, atau, paling banter mengoper pada lawannya, Baca lebih lanjut

Diego Simeone: Kapten, Pelatih, dan Legenda

Sebagai seorang pemain yang telah berkelana ke mana-mana, Simeone telah menyicip banyak kesuksesan. Karirnya sebagai pengolah si kulit bundar di lapangan memang selalu memberikan tuah bagi klub yang ia bela.

Di Italia, Simeone mampu memberi gelar bagi Inter Milan dan SS Lazio. Bersama Nerazzuri dia memberikan Piala Uefa, sementara saat mengenakan kostum biru langit Lazio, ia mempersembahkan dobble winners, gelar scudetto dan Coppa Italia pada tahun 2000.

Namun pencapaian terbesarnya terjadi beberapa tahun sebelumnya, yaitu di kota Madrid. Pada pertengahan dekade 90-an, ia menjadikan Atletico menjadi salah satu klub yang begitu ditakuti. Baca lebih lanjut

Jendral yang Abadi dalam Perseteruan Real Madrid-Barcelona

Dalam laga derby El Classico, adakah tokoh antagonis yang sering disebut-sebut selain Francisco Franco Bahamonde?

Padahal, kubu Real Madrid menolak untuk diasosiasikan dengannya, sementara Barcelona menaruh sakit hati padanya. Tapi, jika kedua klub itu sama-sama membenci Franco, mengapa nama sang Jendral selalu hadir dan memantik api pertikaian setiap el clasico akan digelar?

Franco sendiri kerap dikaitkan dengan penindasan bangsa Catalunya dan sering dibilang sebagai bangsat Castilia yang  habis-habisan pro-Real Madrid. Namun apakah betul itu demikian?

Jimmy Burns, penulis buku La Roja: Historian Spanish Football, kepada majalah Time menegaskan bahwa menyebut Franco sebagai fans Real Madrid itu adalah sebuah ironi. Karena pada dasarnya Franco adalah penggemar Athletic Bilbao. Baca lebih lanjut

Uli Hoeness: Kejatuhan Sang Raja Bundesliga

Sepanjang hidupnya Uli Hoeness dikenal sebagai orang yang tegas dan bertangan besi. Mau tak mau ia dituntut untuk seperti itu. Membangun satu dinasti di negara seperti Jerman memang butuh orang yang tak lembek, tak menye-menye, dan tak kenal kompromi. Butuh orang seperti Hoeness.

Tapi malam itu, di sebuah kota kecil 70 km dari Munich, ia mendadak lesu. Raut wajahnya pun teramat kuyu. Kegarangannya seolah lenyap, menguap bersama udara malam Tegesse, kota kediamannya dan istrinya, Susi.

Bagaimana tidak. Malam itu Hoeness, yang dikenal sebagai jiwa dan hatinya Bayern Munchen, ditetapkan sebagai tersangka. Akal bulusnya untuk mengelabui otoritas pajak ternyata ketahuan. Hoeness pun digiring setelah pengadilan menghukumnya 3,5 tahun mendekam di bui. Baca lebih lanjut

Moacir Barbosa: Kisah Sedih Kiper Tersial Sepanjang Masa 

Hanya butuh beberapa detik untuk membuat dua orang bunuh diri dengan meloncat dari atas tribun. Hanya butuh beberapa detik  untuk membuat jutaan orang warga Brazil menangis. Hanya butuh beberapa detik bencana yang semirip nuklir “Hiroshima” meledak di Rio De Janero. Dan hanya butuh seorang Moacir Barbosa untuk melakukan semua itu.

16 Juli 1950, sore cerah di langit Rio De Janeriro, tetapi suasana malah sunyi dan senyap. Hiruk pikuk manusia rehat untuk sejenak.  200.000 ribu orang silih berdesakan terfokus melihat 22 pemain bertarung di rumput hijau Maracana. Jutaan sisanya asyik menyimak pertandingan lewat radio, ya walaupun hanya lewat audio mereka tetap khusyuk menyibak khotbah dari gereja Maracana Baca lebih lanjut

Ketika FIFA Mendompleng Nama Baik Mandela

Mendengar FIFA mengagungkan Nelson Mandela layaknya mendengar penyair cabul yang berkhotbah tentang kemuliaan wanita. Sebuah omong kosong yang terasa basi.

Dalam teori, sepakbola dan cita-cita Mandela yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan persamaan hak atas semua manusia semestinya berjalan seiring. Sepakbola memang (terlihat) membuka ruang cita-cita sosok “Madiba” tersebut jadi kenyataan.

Tak heran jika FIFA lalu mengkultuskan sosok Mandela. Bahkan Sepp Blater sendiri menyebut Mandela sebagai sahabat dekatnya. Atau, lihat bagaimana FIFA yang selalu mengidentikkan diri mereka sendiri sebagai Mandela-nya dunia olahraga. Dengan jargon-jargon seperti anti rasisme dan anti politik, FIFA mempopulerkan diri sebagai penjaga kesucian sepakbola.

Salah satu peran sepakbola yang dipromosikan adalah “to change lives for the better”.

Sayang, falsafah dan perjuangan Mandela hanya dijadikan seremonial di atas lapangan hijau dan di depan corong kamera media. Di balik sorot media itu, malah kebijakan-kebijakan FIFA yang bahkan bertolak belakang dengan jiwa Mandela. Baca lebih lanjut

Max Timisela (Bag 2) : Jauh dari Sepakbola adalah Sebenar-benarnya Kesunyian

Dua jam sebelum waktu berbuka puasa tiba, Max Timisela sedang sibuk menggenggam batang kayu sapu lidi. Ia kerahkan tenaga yang tersisa untuk menghempaskan daun-daun kering yang berserakan di depan halaman Gedung Persib di Jalan Gurame. Dia sedang menyapu.

Semenjak awal bulan puasa, gedung memang tak terawat. Itu disebabkan karena Max lebih memilih mengawali bulan puasa bersama kerabat dekatnya di Cikalong — wilayah di dekat perbatasan Purwakarta. Daun-daun yang berserakan itu membuat ia tak sedap memandang. “Lumayanlah bersih-bersih sambil ngabuburit,” ucapnya. Baca lebih lanjut

Max Timisela : Forklore Usang Warga Kota Kembang.

Bandung adalah kota sepakbola, tetapi bukan kota pemasok pemain yang berguna bagi bangsa. Itu fakta.

Memang mesti diakui, animo gila bola luar biasa di kota itu tak sebanding dengan kontribusi bagi negara. Coba sebutkan berapa banyak asli binaan Persib Bandung saat ini yang masuk tim nasional? Nihil jawabnya. Nama-nama beken sekarang seperti Supardi, Muhammad Ridwan, Firman Utina, Sergio Van Dijk dan pemain-pemain lainnya bukanlah pemain asli olahan dari pelatih dan penggiat sepakbola di tatar Sunda.

Bahkan fenomena ini sudah berlangsung dari jauh hari. Saat tim yang sempat dijuluki “Brazilnya Indonesia” ini mengalami masa jaya pada 1983-1985 (juara 4 kompetisi Nasional, 2 runner up, 1 title Internasional), adakah pemain Persib yang jaya di timnas? Baca lebih lanjut

Bagian 4: No Country For Old Man

“Trims banyak. 99,9% orang di Indonesia sangat baik dan ramah. Mungkin saya hanya unlucky saja.”

Kalimat di atas diucapkan Paul Cumming — lengkapnya Paul Anthony Cumming — melalui akun twitter-nya [@papuansoccer]. Kalimat itu merupakan jawaban terhadap mention seseorang yang mengatakan dirinya baru sadar kenapa sepakbola Indonesia tidak kunjung berprestasi setelah membaca feature tentang Paul yang saya tulis untuk subkanal About the Game di detiksport ini.

Lihatlah, dia bahkan tetap mengatakan sesuatu yang positif tentang negeri ini setelah serangkaian pengalaman pahit berinteraksi dengan sepakbola dan orang-orang Indonesia. Apa yang bisa kita katakan kepada orang seperti Paul ini? Orang yang bodoh? Lugu? Naif? Entahlah. Baca lebih lanjut

Bagian 3: Walau Sakit Terus Berusaha Lagi, Lagi dan Lagi

Usai dipecat dan dirugikan secara sepihak oleh manajemen Persiwon Wondana, Paul Cumming nyaris tak punya kegiatan, pekerjaan dan penghasilan. Rumahnya di Lereng Semeru sejak 2011 pun bukan miliknya, melainkan investasi sang kakak, Rosalind Cumming — seorang pelukis yang cukup punya nama di Shrospire, satu daerah di bagian barat Inggris.

Tragisnya, saat proses membangun rumah itu, ia kembali dan lagi-lagi kena tipu. Harga tanah yang seharusnya Rp 40 juta malah ia beli dengan Rp 160 juta, harga yang mahal bagi sebuah tanah yang jauh dari keramaian di tengah desa. Tak hanya itu, bangunan yang mestinya awet dan kuat, dalam beberapa bulan malah sudah retak-retak. Baca lebih lanjut