Istimewa

Kenapa Banyak Pelatih Bagus adalah Mantan Gelandang Bertahan?

Kebiasaan yang berulang akan menghasilkan karakter, dan karakter adalah tipikal yang mudah terbaca.

Dalam sepakbola hal itu bisa terbaca, terutama, dalam konteks pemain yang beralih profesi menjadi pelatih.  Seorang pemain sayap, maka saat menjadi pelatih maka tim yang diasuhnya akan punya tekanan yang khusus pada serangan dari sayap. Begitupun seorang mantan striker maka dia pasti lebih fokus menyoroti taktik dalam konteks serangan, begitupun sebaliknya.

Namun ada teori menarik yang dipaparkan Jordi Cruyff kepada harian Daily Mail. Anak legenda Belanda, Johan Cruyff, menjelaskan bahwa sepanjang sejarahnya pelatih-pelatih terbaik di dunia biasanya adalah mereka yang saat menjadi pemain berperan sebagai defensive midfielder atau gelandang bertahan.

Orang boleh meragukan kapasitas Jordy saat berbicara isu taktik. Tapi ucapan Jordy itu terafirmasi oleh nama-nama pelatih yang dalam 10 atau 20 tahun terakhir ini dianggap punya capaian prestasi tertentu. Lihat saja nama-nama yang pernah membawa anak asuhnya menjuarai Liga Champions: Pep Guardiola, Fabio Capello, Rafael Benitez,  Roberto di Matteo, Vicente del Bosque, dan Frank Rijkard. Mereka semua bermain sebagai gelandang bertahan saat masih menjadi pemain. Baca lebih lanjut

[Chelsea 1-3 Atletico Madrid] Cara Simeone Membongkar Parkir Bus Chelsea

Setelah 40 tahun, akhirnya Atletico Madrid melaju ke final kompetisi Eropa. Di hadapan puluhan ribu pendukung musuh di Stamford Bridge, mereka menundukkan Chelsea dengan mencetak tiga gol.

Jika pada leg pertama pertandingan begitu membosankan, Mourinho datang ke pertandingan ini dengan menyiapkan permainan yang sedikit terbuka meski memasang 5 pemain belakang. Wajar saja, karena Chelsea tak mampu mencatatkan gol tandang minggu lalu. Mereka butuh mencetak gol lebih dulu, baru menerapkan sistem bertahan. Baca lebih lanjut

[Ath Madrid 0-0 Chelsea] Mou Memaksa Atletico Lakukan Umpan Silang yang Sia-Sia

Bagaimana jadinya jika dua tim yang selalu identik dengan kekuatan pertahanan dipertemukan? Hasilnya adalah laga yang membosankan.

Strategi menumpuk pemain yang diterapkan Chelsea memang membuat Atletico kebingungan. Bahkan, baru pertama kalinya pada musim ini Atletico Madrid menguasai ball possesion mencapai 69%.

Pada sisi lain, Chelsea pun seolah hanya mengincar seri dan enggan mencetak gol.  Bagaimana mungkin ingin membobol gawang, jika hanya menyerang pada 5 menit pertama dan 5 menit akhir saja. Itu pun dengan serangan yang hanya dilakukan oleh 3 orang pemain: William, Torres, dan Ramires.

Masalah muncul karena lawan yang mereka hadapi adalah Atletico, tim dengan pertahanan terkuat di Eropa. Upaya 10 menit itu tentu sia-sia. Baca lebih lanjut

[Real Madrid 3-0 Borussia Dortmund] El Real Menyerang Sayap Dortmund dengan Para Inverted Winger-nya

Dendam itu (mulai) terbalaskan. Luka lama musim lalu karena disingkirkan Borrusia Dortmund pada babak semifinal, sudah bisa sedikit terobati. Dini hari tadi, Real Madrid mengandaskan Dormund 3 gol tanpa balas pada leg pertama perempat final Liga Champions yang berlangsung di Santiago Bernabeu. Baca lebih lanjut

[Chelsea 2-0 Galatasaray] Serangan Balik Chelsea yang Meredam Taktik Mancini

Inggris akhirnya mampu sedikit bernafas lega setelah meloloskan satu wakilnya, Chelsea, ke babak 8 besar Liga Champions. Tim asal kota London itu mengalahkan Galatasaray 2-0 di Stadion Stamford Bridge, dini hari tadi.

Dari sisi starting line up yang diturunkan, Chelsea ternyata tak banyak melakukan perubahan dari leg pertama.

Hanya saja, semalam Mourinho sedikit diuntungkan dengan hadirnya Oscar, yang pada pertemuan pertama tak bisa diturunkan karena cedera. Kehadiran Oscar otomatis menggeser Andre Schurrle jadi pemain cadangan dan membuat Willian kembali berperan di sayap kanan. Baca lebih lanjut

[Atletico Madrid 4-1 AC Milan] Lini Tengah yang Membuat Il Diavolo Menanggung Malu

Italia menanggung malu. Satu-satunya perwakilan Serie-A di kompetisi UCL musim ini mesti mengangkat koper setelah AC Milan didepak Atletico Madrid pada babak 16 besar.

Kekalahan Milan ini sebenarnya sudah diprediksi banyak orang jika melihat penampilan AC Milan pada dua laga terakhir saat menderita kekalahan dari Juventus dan Udinese. Tampil di Liga Champions pun Milan tampil pincang, dengan lini tengah mereka yang amat rapuh. Hasil akhirnya Atletico Madrid mampu mengandaskan Milan di Vicente Calderon. Tak tanggung-tanggung dengan skor 4-1.

Melawan AC Milan, tim tuan rumah tampil komplit. Hanya ada satu pergantian yaitu pada posisi fullback kiri. Jika di leg pertama Simeone memilih Emilliano Insua, kini dia memilih Fellipe Luis yang sudah pulih dari cedera. Hal ini otomatis membuat Atletico tampil dengan kekuatan penuh dengan formasi andalan 4-4-1-1 yang jadi pola Atletico pada musim ini. Baca lebih lanjut

[AC Milan 0-1 Atletico Madrid] Kegagalan Seedorf Memanfaatkan Kaka

Melawan Atletico Madrid, Seedorf memodifikasi formasi. Sebelumnya, dia sering memakai 4-2-3-1. Namun setelah absennya Ricardo Montolivo akibat akumulasi kartu, Seedorf enggan mengambil resiko.

Saat Montolivo absen, sejatinya Seedorf bisa menempatkan Michael Essien dan Nigel De Jong berduet sebagai poros ganda dalam formasi 4-2-3-1. Namun, setiap hal itu dicoba,  Milan selalu mengalami kekalahan. Diantaranya saat melawan Napoli dan Udinese.

Hal ini menandakan bahwa ucapan Seedorf tentang ia akan memberi tempat kepada Essien tak terwujud. Milan masih amat bergantung pada Montolivo. Dan ketidakhadiran Montolivo pada laga tadi malam jadi salah satu alasan mengapa Milan mengalami kekalahan di kandang sendiri. Baca lebih lanjut

[Real Madrid 2-0 Borussia Dortmund] Kegagalan Mengulang Remontada

Hampir seminggu ini kota Madrid asik membicarakan masalah remontada, alias kebangkitan ulang. Dengan mengingat kesuksesan Los Blancos saat membalikkan keadaan di Liga Eropa musim kompetisi 1985/1986 (kalah 1-5 di leg pertama, menang 4-0 di leg kedua), para pendukung El Real berharap kesuksesan 28 tahun lalu itu dapat berulang.

Dalam 15 menit pertama di pertandingan semalam, remontada sendiri seolah-olah bisa jadi kenyataan. Beberapa kali gelombang serangan Real Madrid berhasil membongkar pertahanan Dortmund dan menciptakan peluang emas. Bahkan, jika saja Real unggul 3-0 di babak pertama, itu tidak akan jadi satu keanehan. Baca lebih lanjut