Istimewa

Mengingat yang Silam, Menggurat yang Menjelang

Kisah Para Ibu yang Ditinggal Para Lelaki karena Vokal Menyuarakan Keadilan..

Setiap tanggal 22, hari Ibu dibicarakan orang dengan sukacita. Pelbagai pengharagaan dan puja-puji terhadap Ibu diberikan orang. Menjadi Ibu amatlah berat, terutama bagi Ibu-ibu yang berjuang mengikis dendam dan amarah pada negara yang telah memisahkan mereka dengan anak/suami yang mereka cintai.

kutundukkan kepalaku

kepadamu ibu-bu

hukum yang bisu

telah merampas hak anakmu..

…kepada penindas

tak pernah aku membungkuk

aku selalu tegak

(Tujuan Kita Satu Ibu, 1997) Baca lebih lanjut

Istimewa

Pada Sebuah Kenangan Jawa Pos, Bonek dan Persebaya

jawapos

Selama setahun kurang jadi wartawan di Jawa Pos, mungkin ini liputan yang paling saya senangi. Hasil liputan itu akan saya papar di sini, karena kesulitan rekan mencarinya. Cerita dibalik layarnya, selama empat hari saya diberi keluluasaan meninggalkan beban berita-berita harian yang kadang menjemukan. Tapi bukan berarti saya bisa berleha-leha. Pekerjaan malah semakin berat.

Tapi itulah asyiknya. Selama empat malam suntuk saya bertungkus lumus dengan data. Informasi yang dikeruk dari arsip dan buku-buku lawas. Bolak-balik membukan lembaran kertas yang usang, kusam dan berdebu. Tapi itulah asyiknya. Proses yang rumit, sulit dan memakan waktu membuat kita banyak belajar. Baca lebih lanjut

Istimewa

Berbagi Tiga Seri Cerita Nelangsa Pengungsi Rohingya

Kamp Birem Bayeun, Aceh Timur (9)

Bagi saya ini adalah feature panjang pertama saya bekerja sebagai jurnalis di Jawa Pos. Proses editing adalah proses yang kadang jurnalis benci. Ada pemotongan alur cerita, plot, momentum dan suasana yang terkadang akan menyesakan dada. Tapi ya apa mau dikata, terima secara legowo saja lah..

Saya sebenarnya ingin berbagi banyak cerita bagaimana saya menyusun tiga seri tulisan ini. Ada proses dan bagan yang lebih semerawut namun asyik itu diruntut. Hari ke hari. tokoh ke tokoh.  Dalam tulisan terpisah saya berjanji akan melakukannya.

Sebagai jalan pembuka untuk sharing penulisan kisah Rohingya ini, alangkah baiknya anda membaca tiga seri tulisan saya yang semuanya murni tanpa editing dari redaktur.  Jika anda mencermati, anda akan menemukan banyak hal, diantaranya adalah gaya-gaya penulis top yang memang saya coba eksperimen di tiga tulisan ini. Selamat membaca! Baca lebih lanjut

Karena Fans (Bundesliga) Tidak Memeras Fans Lainnya

“Kami tidak pernah menganggap fans seperti sapi yang Anda peras dan minum susunya setiap hari. Sepakbola harus jadi milik semua orang. Itulah perbedaan terbesar antara kami dan Inggris” ucap Karl-Heinz Rummenigge, CEO Bayern Munich.

Bundesliga kini jadi liga paling menguntungkan di muka bumi, di bawah Liga Inggris.  Keuntungan mereka mencapai €2,1 milyar – hanya kalah €800 ratus juta dari Inggris. Suatu hal yang mengagetkan mengingat mereka tak ‘sebesar’Liga Inggris yang disiarkan lebih dari 150 negara.

Pada akhir tahun 2013 lalu, tercatat rataan klub-klub Bundesliga surplus hingga €91 juta. Itu pun dengan catatan mereka tak berhutang sama sekali.

Hal ini berbeda dengan klub-klub Inggris yang mesti memiliki untung, namun data finansial lembaga audit delloite mencatat mereka menciptakan total £139 juta hutang baru.

Fakta-fakta ini menjelaskan bahwaBundesliga dijalankan dengan cara yang lebih murah namun lebih menguntungkan daripada liga-liga besar lainnya seperti Inggris, Spanyol, Italia dan Perancis. Suatu catatan menarik adalah hampir 90% keuntungan bisa didapatkan dengan memaksimalkan potensi industri yang ada di negara sendiri. Baca lebih lanjut

6 Alasan Kenapa Anda Masih Harus Menonton Sepakbola Indonesia di Stadion

Sebagai penggemar sepakbola, tak afdol rasanya jika kita rajin menyimak pertandingan klub-klub Eropa tapi lupa keberadaan liga lokal di negeri ini. Di luar problem-problem laten sepakbola Indonesia, datang ke stadion menonton sepakbola lokal sesungguhnya menawarkan banyak hal yang tak akan didapatkan jika hanya menonton liga Eropa melalui layar kaca.

Tentu saja bisa agak dipahami jika banyak orang yang enggan datang ke stadion untuk menyaksikan liga lokal. Prestasi yang jeblok, berita negatif tentang kekerasan suporter, federasi yang berantakan, jadwal yang acak-acakan dan gampang berubah, pengaturan skor, permainan tiket yang memusingkan, hingga fasilitas stadion dan akses jalan yang sulit menjadi alasan kenapa banyak penggila bola yang enggan datang ke stadion.

Tapi percayalah, tidak ada ruginya datang ke stadion untuk menonton liga domestik di kota sendiri. Bagaimana dengan resikonya? Memangnya tidak ada resiko jika melakukan aktivitas lain? Musibah, sih, bisa datang kapan saja dan di mana saja, di stadion atau di mana pun. Baca lebih lanjut

Istimewa

USA = United Soccer Of America

Sepakbola Amerika bangkit dan berkembang karena kebencian. Kebencian yang membuat sepakbola kian populer hingga dinobatkan sebagai olahraga terfavorit kedua di Amerika di bawah basket (dalam konteks rating di televisi).

Tentu saja keraguan masih saja merebak. Bukan sekali dua sepakbola Amerika mendapatkan momentum kebangkitan, seperti saat liga lokal mereka di dekade 1970an diramaikan para megabintang sekelas Pele, Beckenbauer, Cruyyf, dll., hingga kesuksesan yang mengagetkan saat menjadi tuan rumah Piala Dunia 1994. Toh kultur dan industri sepakbola Amerika tak kunjung menguat.

Inilah agaknya yang membuat keraguan masih tetap membayangi prospek industri sepakbola Amerika. Kareem Abdul-Jabbar, legenda basket NBA, akhir Juni lalu bahkan menulis artikel di majalah TIME dengan judul sinis: Soccer Will Never Be a Slam Dunk in America. Baca lebih lanjut

18 tahun tanpa gelar : Takdir yang kejam?

“Takdir memang kejam..Pedih nian kenyataan..Pedih yang ku genggam..Harapan yang jadi aral, “ sebuah lirik mendayu-dayu yang dinyanyikan Dessy Ratnasari di pertengahan dekade 90an yang sempat masuk top chart MTV serta diprotes MUl.

Saya sengaja memulai artikel ini dengan lirik itu.  Sebuah lirik yang pantas ditujukan kepada Persib Bandung, yang tepat pada hari ini; 30 Juli 2013 merayakan hari ulang tahunnya yang 18 tahun tanpa gelar. Ya betul, tepat 18 tahun lalu, Persib menjadi juara Liga Indonesia I yang prestasinya tak pernah diulangi sampai saat ini dan entah sampai kapan.

“Takdir memang kejam,” jika ditelaah lebih mendalam, dalam soal urusan gelar takdir memang selalu kejam dan tak bersahabat. Kendati tim besar dan banyak pendukungnya, Persib selalu tampil angin-anginan dan sial di sepanjang sejarahnya. Sejarah memang hanya mencatat pemenang, Juara dua ataupun semifinalis tidak pernah diingat orang. Kata Susi Susanti juara itu satu.  dan fase Persib untuk menjadi nomer satu amatlah panjang dan butuh pengorbanan. Baca lebih lanjut

Atletico Madrid: Bandit yang Menyaru jadi Robin Hood

Kisah tentang sang penantang dominasi memang terdengar menarik dan kerap diminati banyak orang. Apalagi jika sang jagoan juga merepresentasikan kaum miskin.

Misalnya saja Atletico Madrid, sang tetangga El Real yang baru saja menasbihkan diri sebagai juara La Liga. Tak punya uang namun bisa menentang kedigdayaan Barcelona dan Real Madrid, tak heran jika kisah mereka mendapat simpati. Bahkan ada yang menyamakan tindak-tanduk mereka dengan Robin Hood, si penjahat pembela kaum miskin yang bermarkas di hutan Sherwood

Jika Robin Hood menantang King John dan Sheriff of Nottingham, maka tokoh antagonis yang dilawan oleh Atletico tentu adalah Real Madrid dan Barcelona, dua poros yang mendominasi selama 10 tahun terakhir.

Sebagai seorang Robin Hood, musuh pertama yang sudah ditaklukkan adalah Sherrif Of Nottingham. Klub yang dulunya diasuh oleh Tata Martino ini pada akhirnya sudah “dimiskinkan” Atletico, karena tanpa gelar La Liga, musim ini jadi musim paceklik gelar bagi Barca. Baca lebih lanjut

Mencaci dan Memuji ala Fans Inggris dan Italia

“Loyalitas” menjadi kata paling sakral dalam sepakbola Inggris. Seringkali “loyalitas” di situ dimengerti dalam artinya yang paling harafiah. Termasuk bagi para suporter sepakbola.

Kamus Oxford menjelaskan “loyalitas” sebagai “… giving or showing firm and constant support or allegiance to a person or institution” . Ya, seperti itulah kira-kira orang Inggris memandang kesetiaan.

Kultur kesetiaan yang terjadi di Inggris amat unik dibandingkan negara-negara lainnya. Dan seperti yang sudah disinggung dalam penutup tulisan di bagian pertama, ini terkait dengan aspek kesejarahan yang membentuk watak dan psike sebuah bangsa.

Arsene Wenger menyimpulkan bahwa ada perbedaan karakter kultur bangsa Anglo Saxon dengan Eropa daratan, khususnya Spanyol, Italia dan Perancis. Baca lebih lanjut

Membandingkan Cara Fans Inggris dan Italia Menyikapi Kekalahan

Dua klub ternama yang sering di juluki “The Devils” menjalani cerita yang sama tapi dengan jalan berbeda pada akhir pekan lalu.

Manchester United kini tengah terpuruk. Di papan klasemen Liga Inggris mereka kedodoran untuk bersaing di papan atas.  Di Liga Champions pun mereka tersaruk-saruk. Mereka harus sangat susah payah menyingkirkan tim semenjana, Olympiakos,  tim dari negeri yang masih terkoyak-koyak oleh krisis ekonomi.

Nada-nada minor nyaring terdengar kepada Moyes saat Manchester United akan menjamu seteru abadi mereka – Liverpool di Old Trafford. Pasalnya MU yang sekarang beda jauh dengan yang dulu.Tetapi pada laga itu, Moyes masuk ke lapang dengan rasa percaya diri. Tulisan “In Moyes We Trust” masih sempat terlihat diacung-acungkan suporter cilik penggemar MU.  Yel-yel dukungan tetap menggema kompak seperti biasanya pada setiap tribun.  Standing applause dilakukan semua penonton menyambut para pemain pesakitan mereka masuk lapangan.

Masuk dengan dada membusung, pulang dengan punggung membungkuk. MU kalah telak 0-3 oleh Liverpool. Baca lebih lanjut