[Revierderby: Schalke – Dortmund] Saling Benci Dua Klub Buruh di Lembah Ruhr

Im stadion cor mir stebt ein BVB schwein – di depan stadionku berdiri babi-babi BVB,” gemuruh suara menggema kompak di Veltins  Arena.

Yel-yel itu memlesetkan lirik lagu penyanyi cantik Uschi Obermaier berjudul Im Wagen for Mir. Oleh fans Schalke, lagu cinta itu diubah menjadi lagu yang mengunggah kebencian. Pada akhir nyanyian, secara padu mereka akan berteriak “Shalalalalalalalala Die Sau!- Babi!”

Seolah tak mau kalah, fans Dortmund pun melakukan hal yang serupa.  Lagu Juliane Werding yang popular dekade 80-an berjudul Am Tag, als Conny Kramer starr – sebuah lagu yang berkisah tentang pecandu narkoba yang mati menggenaskan. Lagu itu diplesetkan dan disematkan pada Schalke.

Judul pun mereka plesetkan jadi Am Tag, Als Der FC Scheisse Starb – Suatu hari ketika FC Tai mati! Lagu ini jadi lagu wajib fans Dortmund saat berkumpul. Entah di stadion, tempat umum atau acara musik sekalipun. Apapun tim yang mereka lawan di Signal Iduna Park, kebencian terhadap Schalke selalu mereka umbar lewat lagu ini.

Schwein adalah Dortmund. Scheisse adalah Schalke. Stigma yang menghiasi persaingan dua kota di tepi sungai Ruhr: Gelsenkirchen dan Dortmund. Dua kota yang hanya berjarak 30 kilometer, setara Depok – Jakarta. Baca lebih lanjut

El Clásico: Drama dan Ilusi Terbesar Sepanjang Masa

“Setiap dongeng butuh penjahat yang bagus. Kau membutuhkanku, atau kau takkan berguna. Karena kita sama, kau dan aku.”

Kalimat di atas adalah ucapan perpisahan James Moriarty kepada Sherlock Holmes – dua musuh abadi yang saling membutuhkan—dalam novel detektif Sherlock Homes ciptaan Sir Arthur Conan Doyle

Apa yang diucapkan tokoh antagonis James Moriarty ini mirip-mirip seperti hubungan antara Real Madrid dan Barcelona. Meski sama-sama membenci, keduanya butuh satu sama lain. Meski senang melihat lawannya terpuruk, sebenarnya mereka butuh agar musuhnya kuat. Karena kisah persaingan yang sengit hanya bisa lahir dari lawan yang seimbang, sama-sama kuat, dan saling mengalahkan.

Dan, bagi Real Madrid dan Barcelona, mereka butuh drama. Tinggal masalah pembagian siapa yang ambil peran sebagai penjahat dan siapa yang akan jadi pahlawan. Baca lebih lanjut

Dogma Anti ‘Keberuntungan’ yang Selalu Menggema di Kota Florence

Dari Florence, kota kecil berpenduduk 300 ribu, dunia berubah. Kota berbunga nan indah yang kini lebih diidentikan sebagai tujuan wisata. Lembaran sejarah memang mencatatkan bahwa tanah Florence-lah yang melahirkan dan membesarkan rennaissance sebelum mewabah ke seluruh penjuru Eropa.

Ya, Florence menelurkan banyak pemikir, seniman, ilmuwan dan politikus ulung yang mewarnai dunia baru. Mulai dari Dante, Michelangelo, Galileo, Machiavelli, Leonardo Da Vinci dan banyak lainnya. Para pemikir dan artisan inilah yang mengembalikan kedigdayaan barat dari tangan orang timur. Dan, hingga kini, bangunan-bangunan tua dari abad rennasissance masih tetap tegak kokoh, penanda bahwa kota ini sempat jadi pusat peradaban manusia berada. Baca lebih lanjut

Panathinaikos – Olimpiakos: Kebencian Abadi yang Bermula dari Peti Mati

“Oh Dewi, Nyanyikanlah lagu yang mengisahkan penderitaan pasukan Anchean lantaran kemarahan Achilles putra peleu. (Lalu) dewa manakah yang menghendaki perselisihan itu?” itulah kalimat pembuka dari puisi epic sepanjang sejarah The Illiad Of Homer – sebuah karya sastra yang melegenda dari tanah Yunani.

Yunani negeri kaya mitologi. Punya banyak hikayat tentang dewa-dewa dan para ksatria. Dewa dewa yang saling bermusuhan dan ksatria yang gemar perang.  Nyaris tak ada bedanya dengan sepakbola.

Mengutip ucapan Rhinus Michel, bukankah sepakbola itu adalah perang?  Dan bukankah sepakbola itu juga sepenting hidup dan mati, seperti dinyatakan Bill Shankly? Dan, dalam perang, kecintaan dan kebencian berlebihan bisa ditolerir karena perang memang tak mengenal standar moralitas.

Ah, tentu saja dua orang itu berlebihan dalam berkata-kata. Baca lebih lanjut

Rivalitas Bandung vs Jakarta: 7 Kisah ‘Tempo Doeloe’

Bandung dan Jakarta adalah poros penting dalam sejarah perkembangan sepakbola di Indonesia. Sejak sepakbola masuk ke Hindia Belanda pada akhir abad 19, Bandung dan Jakarta punya peran penting dalam sejarah sepakbola negeri ini.

Persaingan dua klub dari dua kota yang berjarak 150 kilometer ini kian kental terasa bermula dari klub-klub yang dimiliki orang-orang Belanda seperti Hercules (Jakarta) dan UNI (Bandung), hingga Persija Jakarta dan Persib Bandung pasca kemerdekaan.

Ini bukan soal kekerasan suporter, karena soal satu ini sebenarnya baru terjadi belakangan, baru sekitar 1 dasawarsa saja. Ada banyak kisah-kisah menarik yang mungkin mulai dilupakan orang tentang persaingan dua kota ini dalam hal soal urusan sepakbola.

Berikut kami akan kami sajikan beberapa kisah yang berlangsung di era klasik sampai era perserikatan. Baca lebih lanjut

Ikhtiar Mematahkan Dominasi Bayern Muenchen

Dominasi mudah membangkitkan kebencian. Minimal perasaan iri, dengki atau sekadar tak senang.

Dan di Jerman, kebesaran Bayern Muenchen menjadi sasaran kebencian itu. Banyak survey-survey yang menyatakan Bayern memang klub paling di benci di Jerman. Wajar, pemenang memang rentan dibenci oleh mereka yang dikalahkan.

Hegemoni dan kesombongan Bayern dalam urusan raihan gelar memang tak tertandingi. Siapa yang mau berlagak sombong di depan klub dengan raihan 23 kali juara Bundesliga, 16 kali juara DFB Pokal, 5 kali juara Champions Leaque, 1 kali juara UEFA Cup dan Winners Cup serta dua kali menjadi klub terbaik dunia lewat Intercontinental Cup.

Di Jerman, tak ada yang sanggup menandingi Muenchen. Di Jerman, Bayern jadi puncak tonggak kesombongan itu. Baca lebih lanjut

DERBY DELLA CAPITALLE : Kebencian Abadi di Kota Yang Abadi.

Secara melankolis seorang Novelis Inggris, Sir Hall Caine, dalam novelnya yang berjudul “The Eternal City” (1901), mengatakan bahwa Kota Roma adalah “sebuah kekaisaran tanpa akhir.” “Keabadian” itulah yang ingin disampaikan Caine. Suatu frasa yang berhubungan dengan keadaan utopis di Roma kala itu. Tak ayal sebutan Eternal City pun kini didaulat sebagai julukan Kota Roma.

Keabadian inilah yang akan hadir dalam laga epik nan heroik di Stadion Olimpico nanti malam. Rivalitas perseteruan abadi Lazio dan Roma akan mencapai titik puncak dalam sejarahnya. Baru pertama kali dalam historis sepakbola italia kedua tim ini harus bentrok di laga final dalam sebuah ajang prestise semacam Coppa Italia. Karenanya tak ada pilihan lain bagi kedua tim: membunuh atau dibunuh. Baca lebih lanjut

Derby Super Classico

Tanggal 26 Juni 2011 tak akan pernah dilupakan semua pecinta sepakbola di Argentina. Hasil imbang 1-1 antara River Plate versus Belrgano secara tragis mengirim River Plate ke kasta bawah sepakbola Argentina. Momentum itu membuat Buenos Aires meledak oleh dua ekspresi yang sangat berseberangan.

Di daerah utara terjadi kerusuhan, bentrokan antara ribuan suporter River Plate dengan polisi anti huru hara, berujung pada satu suporter tewas, 55 orang dan 35 petugas polisi mengalami luka serius sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.

Penggunaan mobil watercanon, peluru karet dan gas air mata ternyata gagal meredam amukan suporter yang mengamuk di dalam Stadion El-Monumental — kandang River. Malahan titik bentrokan yang semula hanya di sekitar stadion meluas ke semua penjuru distrik Nunez dan Belgrano. Raungan ambulans dan mobil polisi bergantian terdengar di mana-mana. Asap hitam membumbung tinggi di beberapa pusat bisnis dan perbelanjaan akibat tong sampah, kendaraan, dan toko-toko yang dibakar serta dijarah suporter.

Ringkikan pasukan polisi berkuda dan bunyi suara beberapa helikopter di atas langit Buenos Aires yang hilir mudik mencari perusuh, membuat daerah utara kota, yang dikenal sebagai tempat elite itu menjadi seolah seperti medan perang. Baca lebih lanjut