Istimewa

Buku “Persib Undercover” dan Plagiarisme Penerbit Rak Buku

 saya

Hidup Kami, Matilah kau Plagiator –Pidi Baiq

Pada suatu hari di bulan Oktober 2012, ketua Viking Heru Joko mempertemukan saya dengan Tata dan Ardi, pasangan suami istri yang mengelola penerbitan Rak Buku. Pertemuan itu dilakukan di toko Viking di Jalan Banda. Ada hasrat dari mereka untuk membuat sebuah buku yang berkaitan dengan “Viking” – sebuah buku yang bercerita tentang kehidupan suporter, bukan cerita tentang klub – hal ini dilakukan dalam rangka meniru kesuksesan Fajarjun (rekan saya juga) yang membuat buku berjudul “Bonek”.

Di depan Heru Joko, kepada Tata dan Ardi, saya mengajukan beberapa usulan yang masih dalam ide abstrak, namun menjurus ke hal berbau suporter (sesuai keinginan mereka), mulai dari loyalitas bobotoh di daerah, cerita saat awayday, dll. Oh ya, sebagai rencana awal, buku ini akan diterbitkan bulan Maret 2013, mengangkat momen tahun emas 80 ulang tahun Persib.

Pada masa-masa ini, pihak penerbit membebaskan saya membuat konsep dan kerangka tulisan, karena bingung dan banyak aktifitas lain (dan kebetulan saya sedang sibuk mengurusi Pilgub Jabar) maka saya sedikit mengabaikan rencana ini.

Untuk diketahui, sebelum itu, Viking memang sudah berencana membuat buku yang mengisahkan perjuangan dan pengalaman sebagai pendukung Persib. Hanya saja konsepnya sayembara menulis. Jadi siapa saja boleh ikut mengirimkan tulisannya. Saat itu, salah satu yang mengonsep, adalah Zen RS. Bukti bahwa konsep buku tentang suporter Persib, dengan aspek-aspek keunikan dan menonjolkan aspek humanis itu bisa dilihat di bawah ini (email bertanggal 9 September 2012).

Sampai pada sekitar awal bulan November 2012, saya bertemu kembali dengan Rak Buku di Café Ngopi Doeloe, Jalan Teuku Umar, Bandung. Seperti biasa saya hadir bersama Heru Joko.

Sadar bahwa dalam penggarapan buku ini saya tak bisa berjalan sendirian. Maka saya mengajak Kiki Esa Perdana, rekan saya yang punya spesifikasi dengan antropologi. Sebagai dosen merangkap bobotoh, saya tentu senang bekerja sama dengannya. Mengingat buku ini akan menghabiskan banyak riset, wawancara dan akomodasi yang cukup besar mengingat harus berkeliling ke seluruh pelosok Jabar. Baca lebih lanjut

Istimewa

Dari Sebes Hingga Pogacknik: Menerjemahkan Sosialisme ke dalam Taktik Sepakbola

“Selalu ada pemikiran di balik sebuah tendangan,” kata non-flying Dutchman, Dennis Bergkamp.

Sofistikasi yang disuguhkan Bergkamp ini mencoba meyakinkan siapa pun kalau urusan sepak menyepak si kulit bundar tak melulu soal fisikal, bukan hanya aspek motoric atau semata perihal ilmu gerak. Sepakbola juga merupakan aktivitas kognitif, melibatkan pikiran, dan mengerahkan intelijensia.

Ini tak sesederhana kemampuan mengambil keputusan dalam waktu yang demikian pendek, dalam tempo sepersekian detik. Ini boleh jadi melibatkan sesuatu yang lebih sublim: bagaimana merumuskan sebuah taktik sepakbola yang bukan hanya ampuh dan mematikan, tapi juga mencerminkan ideologi politik? Baca lebih lanjut

Konflik Ultras, Media, Polisi, dan Federasi di Italia

Gelaran Kompetisi Liga Italia akan ditabuh minggu ini. Sorotan orang akan liga yang pernah didapuk sebagai liga terbaik dunia ini mulai sirna. Secara bertahap Serie-A mulai ditinggalkan.

Jangankan dunia internasional, bagi penduduk Italia pun sepakbola sudah jadi bagian tak menarik. Berkurangnya jumlah penonton yang hadir di stadion dari tahun ke tahun menjadi penegas hal itu.

Lepas dari budaya korup, atau kelicikan yang selalu identik dengan pengelolaan sepakbola, satu hal yang membuat orang enggan menyaksikan Liga italia adalah sifat anarkis dan rasis yang kerap dihadirkanoleh para ultras di dalamstadion-stadion (baca: Ultras dan Kemunduran Sepakbola Italia).

Ya, berbeda dengan Inggris, Spanyol, atau Jerman, yang penontonnyadidominasi oleh penonton biasa,stadion Serie-A dikuasai kelompok ultras.

Ironisnya kekuasaan itu kadang diberikan oleh pihak klub sendiri. Baca lebih lanjut

Ultras dan Kemunduran Sepakbola Italia”

“Dari Italia, kau hanya akan mendengar kabar jelek belaka,”

Begitu tutur Cornelius Tacitus, sejarawan Kota Roma yang hidup pada abad satu masehi. Dalam sepakbola ucapan itu benar adanya. Selama satu dekade terakhir, sepakbola Italia tak henti-henti menelurkan drama, tragedi, skandal yang membuat orang muak. Dari mulai calciopoli, kekerasan suporter, skandal pemain amatir dan presiden klub, hingga ejekan bernada rasisme yang menggaung di berbagai stadion kerap mewarnai Serie-A tiap musimnya.

Terjerembab dan berkutat dengan permasalahan, prestasi klub mereka di tingkat Eropa pun semakin menurun. Rataan penonton berkurang drastis dan bintang-bintang enggan kembali berdatangan. Lantas, zaman keemasan pada dekade 1980-19990an, saat mereka didapuk sebagai liga terbaik, hanyalah kenangan basi masa lampau. Baca lebih lanjut

El Clásico: Drama dan Ilusi Terbesar Sepanjang Masa

“Setiap dongeng butuh penjahat yang bagus. Kau membutuhkanku, atau kau takkan berguna. Karena kita sama, kau dan aku.”

Kalimat di atas adalah ucapan perpisahan James Moriarty kepada Sherlock Holmes – dua musuh abadi yang saling membutuhkan—dalam novel detektif Sherlock Homes ciptaan Sir Arthur Conan Doyle

Apa yang diucapkan tokoh antagonis James Moriarty ini mirip-mirip seperti hubungan antara Real Madrid dan Barcelona. Meski sama-sama membenci, keduanya butuh satu sama lain. Meski senang melihat lawannya terpuruk, sebenarnya mereka butuh agar musuhnya kuat. Karena kisah persaingan yang sengit hanya bisa lahir dari lawan yang seimbang, sama-sama kuat, dan saling mengalahkan.

Dan, bagi Real Madrid dan Barcelona, mereka butuh drama. Tinggal masalah pembagian siapa yang ambil peran sebagai penjahat dan siapa yang akan jadi pahlawan. Baca lebih lanjut

Mencaci dan Memuji ala Fans Inggris dan Italia

“Loyalitas” menjadi kata paling sakral dalam sepakbola Inggris. Seringkali “loyalitas” di situ dimengerti dalam artinya yang paling harafiah. Termasuk bagi para suporter sepakbola.

Kamus Oxford menjelaskan “loyalitas” sebagai “… giving or showing firm and constant support or allegiance to a person or institution” . Ya, seperti itulah kira-kira orang Inggris memandang kesetiaan.

Kultur kesetiaan yang terjadi di Inggris amat unik dibandingkan negara-negara lainnya. Dan seperti yang sudah disinggung dalam penutup tulisan di bagian pertama, ini terkait dengan aspek kesejarahan yang membentuk watak dan psike sebuah bangsa.

Arsene Wenger menyimpulkan bahwa ada perbedaan karakter kultur bangsa Anglo Saxon dengan Eropa daratan, khususnya Spanyol, Italia dan Perancis. Baca lebih lanjut

Membandingkan Cara Fans Inggris dan Italia Menyikapi Kekalahan

Dua klub ternama yang sering di juluki “The Devils” menjalani cerita yang sama tapi dengan jalan berbeda pada akhir pekan lalu.

Manchester United kini tengah terpuruk. Di papan klasemen Liga Inggris mereka kedodoran untuk bersaing di papan atas.  Di Liga Champions pun mereka tersaruk-saruk. Mereka harus sangat susah payah menyingkirkan tim semenjana, Olympiakos,  tim dari negeri yang masih terkoyak-koyak oleh krisis ekonomi.

Nada-nada minor nyaring terdengar kepada Moyes saat Manchester United akan menjamu seteru abadi mereka – Liverpool di Old Trafford. Pasalnya MU yang sekarang beda jauh dengan yang dulu.Tetapi pada laga itu, Moyes masuk ke lapang dengan rasa percaya diri. Tulisan “In Moyes We Trust” masih sempat terlihat diacung-acungkan suporter cilik penggemar MU.  Yel-yel dukungan tetap menggema kompak seperti biasanya pada setiap tribun.  Standing applause dilakukan semua penonton menyambut para pemain pesakitan mereka masuk lapangan.

Masuk dengan dada membusung, pulang dengan punggung membungkuk. MU kalah telak 0-3 oleh Liverpool. Baca lebih lanjut

Oriundi Argentina: Dicaci Saudara Tua Sendiri

Siapa bilang kultur mengembara itu hanya milik bangsa China dan Yahudi saja? Bangsa Italia pun memiliki kebiasaan yang sama. Italia adalah salah satu bangsa terbesar di dunia yang melakukan diaspora.

Menurut data Fondazione Migrantes pada tahun 2011, diperkirakan 60-80 juta orang keturunan Italia tinggal di luar tanahnya sendiri. Angka itu justru lebih besar ketimbang populasi penduduk negara Italia yang berjumlah 60 juta jiwa. Dari catatan majalah itu juga terlihat bahwa mayoritas keturunan ini tinggal di Amerika Selatan, dengan dua negara yang paling banyak menampung para migran Italia adalah Brasil dan Argentina.

Hingga saat ini, tercatat 25 juta orang berdarah Italia tinggal di Brasil. Tetapi, jumlah terbesar keturunan Italia malah masih berada di Argentina. Sekitar 27 juta jiwa penduduk Argentina, atau 60% dari total 49 juta jiwa, memiliki buyut yang datang dari Italia. Baca lebih lanjut

Ultras Ukraina dan Keberpihakan Politik pada yang Tertindas 

Ada Hantu berkeliaran di Ukraina – Hantu itu bernama Ultras.

Kejadian di Mesir, Tunisia, Libya dan Turki adalah batu tapal yang mengingatkan bagaimana suporter sepakbola dapat dijadikan tempat yang nyaman untuk mengorganisir protes politik massa.

Di era modern, suporter sepakbola atau kelompok Ultras jamak melibatkan diri dalam hal-hal berbau pergerakan politik massa. Keberadaan mereka layaknya sebuah front gerakan politik. Keterorganisiran diri di antara mereka membuat hal itu menjadi mudah. Para Ultras keluar dari cangkang identitas mereka sebagai suporter dan sejenak melupakan kisah-kisah perseteruan di dalam stadion.

Banyak fans-fans yang bermusuhan dari banyak kubu kemudian bersatu dengan dasar kesamaan keinginan untuk melakukan perubahan politik, turun ke jalan dan kompak meneriakan yel-yel “rezim turun!”  bersama para demonstran lainnya. Baca lebih lanjut

Kultur Pencundang: Rahasia Kehebatan Pelatih-Pelatih Italia

Dalam hal pemecatan pelatih, Serie-A adalah juaranya. Dalam empat musim terakhir,  jumlah pelatih yang dipecat di Serie-A selalu unggul jauh ketimbang Liga Inggris, Bundesliga, maupun La Liga. Sepanjang bergulirnya kompetisi  2010-2012, Italia tercatat sudah memecat 34 pelatih. Angka ini berbanding jauh ketimbang Jerman 27 pelatih, Spanyol 26 pelatih, dan Inggris 17 pelatih.

Jumlah itu belum ditambah dengan angka-angka yang terus bertambah pada musim ini. Dalam kompetisi yang baru memasuki giornata ke-20 pada musim ini, sembilan pelatih di Serie-A telah jadi korban. Pelatih Lazio Vladimir Petkovic dan pelatih AC Milan Massimiliano Allegri adalah bagian kecil dari cerita itu.

Apakah hal ini menandakan bahwa Serie-A adalah kompetisi terketat  hingga menuntut hasil maksimal dan tak mentolerir kekalahan? Pendapat itu bisa saja diterima. Tapi nyatanya tak hanya Serie-A saja yang mengalami fenomena ini. Baca lebih lanjut