Sore tadi saat melipir ke toko buku. Saya sempat membaca buku terbaru kumpulan esai Seno Gumira Ajidarma berjudul “Tak Ada Ojek di Paris,” Sepintas saya tertarik dengan esai yang tercantum diakhir buku. Esai itu berjudul “Jangan (Terlalu) Percaya Media Massa” esai ini terbit di Majalah Matra 2002 silam. Saya senang membacanya mengingat esai ini lahir saat kebebasan Pers baru berumur empat tahun pasca reformasi. Sekelumit konflik mulai dari Aceh, Timor Leste hingga Ambon sedang ramai-ramainya. Selamat membaca!
****************************
Percayalah, pengelola media sama bodohnya dengan kita. Kalau media massa tidak bisa dipercaya, lantas siapa yang bisa dipercaya? Barangkali tidak ada—dan inilah celakanyha hidup di dunia yang terbentuk oleh makna, karena dalam proses pembermaknaan
berlangsunglah pertarungan antar makna untuk menggapai kuasa. Sedangkan kuasa atas makna tak lebih dan tak kurang adalah suatu kibul.
Makna memang begitu pluralnya sehingga tiada satu pun kuasa atas makna bisa diterima sebagai penafsiran absolut. Orde baru sudah membuktikan, bagaimana kekuasaan atas makna adalah mungkin: mulai dari penafsiran atas Pancasila, Peristiwa G 30 S, pencaplokan Timor Timur, istilah-istilah seperti kritik membangun, stabilitas, sampai bebas bertanggungjawab, makanya tidaklah bebas tafsir. Semua itu ada “juklak”-nya, akronim menyebalkan dari petunjuk pelaksanaan. Prosedur yang sudah berlangsung puluhan tahun itu, sebagai kebiasaan yang diajarkan Orde Lama, sangat berperan dalam proses internalisasi: kondisi itu diterima sebagai kodrat.
Apakah dengan begitu reformasi telah membebaskan belenggu makna? Tentu saja tidak, karena hegemoni makna sebetulnya juga merupakan konstruksi bersama. Baca lebih lanjut →