Antitesis Terhadap Anggapan Persib – Persija Adalah Rival (Habis)

Kata “Rival” merupakan kata serapan dari bahasa inggris, dalam kamus Oxford dijelaskan rival is Having the same pretensions or claims; standing in competition for superiority; as, rival lovers; rival claims or pretensions. Dalam konteks bahasa yang lebih ringan rival berati saingan dan lawan. Namun jika rivalitas Persib-Persija dibumbui kata “Abadi” makan sisi kekonyolan lah yang akan didapat.

Kendati persaingan Persib dan Persija dalam sejarahnya tidak panas-panas amat, namun bolehlah kata rival disandingkan untuk menggambarkan hubungan antara Persib dan Persija, sama seperti Persib dan PSM Makassar, atau Persib dan PSMS Medan, atau juga Persib dan Persebaya Surabaya. Karena bagaimanapun juga Persib, Persija, PSMS, Persebaya, dan PSM adalah tim raksasa langganan juara perserikatan. Baca lebih lanjut

Antitesis Terhadap Anggapan Persib – Persija Adalah Rival (Bagian 1)

Banyak “media massa” atau “bobotoh” selalu memandang pertandingan Persib Bandung versus Persija Jakarta adalah pertandingan panas yang mempertemukan kedua rival abadi. Namun apakah betul demikian Persib versus Persija adalah rival abadi? bagi saya hal itu adalah sebuah lelucon belaka. Lelucon yang didasari oleh kebodohan semata, kebodohan untuk enggan membuka kembali lembaran sejarah antara dua klub pendiri PSSI tersebut.

Saya hanya bisa terkekeh-kekeh melihat beberapa rekan-rekan wartawan yang menggiring opini seolah menyamakan pertandingan Persib dan Persija sama dengan derby-derby panas lainnya di belahan bumi lain, misalkan seperti Derby Classico di Spanyol antara Real Madrid dan Barcelona. Bolehlah menyebut laga Persib Persija sebagai laga bigmatch, namun jika disamakan denganDerby Classico itu adalah Majas Metamofora terkonyol yang pernah saya dengar. Baca lebih lanjut

Dinamika Politisasi Persib dari masa ke masa

Sepakbola dan Politik di Indonesia pada khakikatnya adalah sebuah simbiosis mutualisme yang saling berkaitan dan menguntungkan satu sama lainnya. Terlebih di era kebablasan Demokrasi saat ini. sepakbola adalah salah satu alat efektif dari sekian banyak alat untuk mengumpulkan massa.

Dalam sejarahnya pun di awal abad 20, di Sumatera Utara pernah ada suatu klub lokal yang menawarkan dirinya kepada politikus Belanda untuk menjadikan klub tersebut sebagai ajang kampanye. hal ini membuktikan bahwa memang politisasi sepakbola adalah sesuatu hal yang lumrah di negeri ini, yang tentunya diturunkan dari generasi ke generasi.

Disisi lain, pengelolaan sepakbola kita yang masih amatir mau tak mau harus membuat sepakbola tak bisa lepas dari keberadaan politisi yang mempunyai gold and power. Untuk mendapatkan dana segar APBD tentunya butuh peran politisi, untuk dipermudah segala izin keamanan dan tetek bengeknya  perlu politisi, untuk mempermulus raihan gelar pun perlu dan perlu adanya politisi. Suatu alasan logis kenapa sepakbola Indonesia tak bisa lepas dari keberadaan politik. Baca lebih lanjut

Persib VS PSV Eindhoven (1987): Saat Siliwangi Dicicipi Para Bintang Sepakbola Dunia

Hari ini tanggal 11 Juni 2013, datanglah ke Stadion Siliwangi malam ini. Bayangkanlah siapa sangka 26 tahun lalu atau 11 Juni 1987. tepat malam hari pukul 19.00 Stadion Siliwangi hiruk pikuk penuh ramai penonton. Ada sekitar 25.000 orang memadatinya. tengoklah ke bangku VVIP disana ada Mantan Gubernur Jabar Yogie S Memet dan para punggawa timnas PSSI yang asyik menyimak pertandingan. Wajar saja pertandingan besar sedang digelar malam itu. Persib Bandung melawan PSV Eindhoven, klub raksasa Belanda yang sedang mengalami masa  jaya-jayanya.

Di Siliwangi kala itu, PSV diperkuat banyak pemain nasional Belanda yakni Rene Van Der Gijp, Ronald Koeman,Jurrie Koolhof, Michel Velke, Gerald Vanenburg. Dari Denmark Frank Anersen dan Ivan Nielsen serta bintang timnas Belgia Erick Gerets. tak lupa sang pemain termahal dunia Ruud Gullit pun ikut serta mempesona beraksi di atas lapangan yang rumputnya bukanlah rumput kelas eropa.

PSV bukanlah tandingan Persib yang jadi juara Perserikatan tahun 1986. PSV tampil dengan tiga pemain kunci di ketiga lini, Erick Gerets di belakang, Ronald Koeman di tengah, dan Ruud Gullit di depan. Sejak menit 10, PSV sudah mulai mendikte jalannya pertandingan. Sayang sekali Gullit bermain tak maksimal, ia tampil ragu dan kurang memperagakan kelebihannya. Baca lebih lanjut

18 tahun tanpa gelar : Takdir yang kejam?

“Takdir memang kejam..Pedih nian kenyataan..Pedih yang ku genggam..Harapan yang jadi aral, “ sebuah lirik mendayu-dayu yang dinyanyikan Dessy Ratnasari di pertengahan dekade 90an yang sempat masuk top chart MTV serta diprotes MUl.

Saya sengaja memulai artikel ini dengan lirik itu.  Sebuah lirik yang pantas ditujukan kepada Persib Bandung, yang tepat pada hari ini; 30 Juli 2013 merayakan hari ulang tahunnya yang 18 tahun tanpa gelar. Ya betul, tepat 18 tahun lalu, Persib menjadi juara Liga Indonesia I yang prestasinya tak pernah diulangi sampai saat ini dan entah sampai kapan.

“Takdir memang kejam,” jika ditelaah lebih mendalam, dalam soal urusan gelar takdir memang selalu kejam dan tak bersahabat. Kendati tim besar dan banyak pendukungnya, Persib selalu tampil angin-anginan dan sial di sepanjang sejarahnya. Sejarah memang hanya mencatat pemenang, Juara dua ataupun semifinalis tidak pernah diingat orang. Kata Susi Susanti juara itu satu.  dan fase Persib untuk menjadi nomer satu amatlah panjang dan butuh pengorbanan. Baca lebih lanjut

Rivalitas Bandung vs Jakarta: 7 Kisah ‘Tempo Doeloe’

Bandung dan Jakarta adalah poros penting dalam sejarah perkembangan sepakbola di Indonesia. Sejak sepakbola masuk ke Hindia Belanda pada akhir abad 19, Bandung dan Jakarta punya peran penting dalam sejarah sepakbola negeri ini.

Persaingan dua klub dari dua kota yang berjarak 150 kilometer ini kian kental terasa bermula dari klub-klub yang dimiliki orang-orang Belanda seperti Hercules (Jakarta) dan UNI (Bandung), hingga Persija Jakarta dan Persib Bandung pasca kemerdekaan.

Ini bukan soal kekerasan suporter, karena soal satu ini sebenarnya baru terjadi belakangan, baru sekitar 1 dasawarsa saja. Ada banyak kisah-kisah menarik yang mungkin mulai dilupakan orang tentang persaingan dua kota ini dalam hal soal urusan sepakbola.

Berikut kami akan kami sajikan beberapa kisah yang berlangsung di era klasik sampai era perserikatan. Baca lebih lanjut

Max Timisela (Bag 2) : Jauh dari Sepakbola adalah Sebenar-benarnya Kesunyian

Dua jam sebelum waktu berbuka puasa tiba, Max Timisela sedang sibuk menggenggam batang kayu sapu lidi. Ia kerahkan tenaga yang tersisa untuk menghempaskan daun-daun kering yang berserakan di depan halaman Gedung Persib di Jalan Gurame. Dia sedang menyapu.

Semenjak awal bulan puasa, gedung memang tak terawat. Itu disebabkan karena Max lebih memilih mengawali bulan puasa bersama kerabat dekatnya di Cikalong — wilayah di dekat perbatasan Purwakarta. Daun-daun yang berserakan itu membuat ia tak sedap memandang. “Lumayanlah bersih-bersih sambil ngabuburit,” ucapnya. Baca lebih lanjut

Max Timisela : Forklore Usang Warga Kota Kembang.

Bandung adalah kota sepakbola, tetapi bukan kota pemasok pemain yang berguna bagi bangsa. Itu fakta.

Memang mesti diakui, animo gila bola luar biasa di kota itu tak sebanding dengan kontribusi bagi negara. Coba sebutkan berapa banyak asli binaan Persib Bandung saat ini yang masuk tim nasional? Nihil jawabnya. Nama-nama beken sekarang seperti Supardi, Muhammad Ridwan, Firman Utina, Sergio Van Dijk dan pemain-pemain lainnya bukanlah pemain asli olahan dari pelatih dan penggiat sepakbola di tatar Sunda.

Bahkan fenomena ini sudah berlangsung dari jauh hari. Saat tim yang sempat dijuluki “Brazilnya Indonesia” ini mengalami masa jaya pada 1983-1985 (juara 4 kompetisi Nasional, 2 runner up, 1 title Internasional), adakah pemain Persib yang jaya di timnas? Baca lebih lanjut