Matinya Seorang Pemain Sepakbola

Menjadi pembaca yang baik adalah dengan menulis. Idiom itu akan selalu berdengung di telinga ini. Sudah lama tangan ini tak menuliskan kembali karya-karya sastra orang lain. Beberapa hari yang lalu, saya sempat berbincang banyak mengenai Pusam Bali United FC. Mendengar klub dari Bali, ingatan saya langsung membayang kepada tim Jonggring Salaka, tim rekaan Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya yang berjudul “Matinya Seorang Pemain Sepakbola”.

Saya sudah lama tak membaca cerpen klasik ini. Mencarinya di Internet pun ternyata cukup sulit. Beruntunglah akhirnya saya menemukan kembali cerpen ini di buku kumpulan cerpen Seno yang baru-baru ini Kompas terbitkan. Mohon maaf jika cerpen ini saya salin dan ketikan ulang dan dipublish tanpa sepengetahuna penulis dan penerbit.

Amat jarang sastrawan di Indonesia yang mengambil tema Sepakbola sebagai latar jalannya cerita. Padahal dari sepakbola lah gerbang untuk membuka segala permasalahan bangsa bisa terkuak. Cerpen “Matinya seorang pemain sepakbola” ini bagi saya amatlah begitu spesial. Ada makna terselip soal nasionalisme yang tergadaikan di dalamnya. Untuk memahami isi cerpen ini, mungkin anda bisa membacanya di bawah ini. Baca lebih lanjut

Welcome Visitor – genah, merenah, tumaninah

ini bandung
datanglah berkunjung
di kota penuh sanjung

jangan lagi tanya paris van java
ini kota penuh intrik dan perkara

jangan lagi tanya kesejukannya
ini kota penuh beton dan polusi udara

jangan lagi tanya soal kenyamanannya
ini kota penuh becak-angkot dan kemacetannya

jangan lagi tanya soal keindahannya
ini kota penuh semrawut dan buruk jalannya

jangan lagi tanya soal keamanannya
ini kota penuh pencoleng dan prokemnya

jangan lagi tanya soal keimanannya
ini kota penuh judi, pemabuk dan pelacurnya

ini bandung
jangan bingung!

(Oleh: Diro Aritonang, sumber: Antologi Muktamar, SST, 2003)

Kisah Pemuda, Sungai dan Angan-Angan Semu

Di sebuah desa yang rumah-rumahnya bertembok kayu mahoni, di tepi sungai cikapundung, hiduplah seorang  petani yang masih muda. Suatu hari, karena bosan menjalani kehidupan yang menyedihkan, dia bertekad meninggalkan rumahnya untuk mengadu nasib. Dengan uang pinjaman, dia membeli delapan ratus butir telur yang baru dan sebuah keranjang bulat yang besar.Dengan membawa barang dagangan di tangan, dia melangkah hati-hati ke sungai, menunggu perahu yang hendak berlayar ke selatan untuk membawanya ke hilir ujung kota Bandung meniti arus sungai Cikapundung yang mengalir deras.

Baca lebih lanjut

Bandung buat Chistiawan dan Broer

Aku bertemu dengan kota itu di jalan Asia Afrika

ada tahi lalat dan bekas kutu kucing di keningnya
Rel kereta dan sisa pisang goreng di punggungnya
Telinganya membenci jam. Dia ingin pulang
Tapi kota itu sudah tak punya alama untuk pulang
Kota itu mengetuk punggungku. Aku menoleh. Tak ada siapa-siapa
Aku menoleh, aku lihat sisa uang dalam dompetku
masih ada sedikit sisa harga diri.
AKu Bandung yang telah Bandung.
Aku sedang berada d bawah jalan Asia Afrika dan seorang penyanyi malam sedang makan.
Biarkan di perutnya yang kosong tumbuh kebun tomat setelah menghibur tamu semalam.
Biarkan sedikit hawa dingin membawa bau teh hangat ke dalam jaket peraknya.
Biarkan slop tingginya menggambar pagi yang akan datang dalam kantong sebuah factory outlet

Baca lebih lanjut