Istimewa

Dari Sebes Hingga Pogacknik: Menerjemahkan Sosialisme ke dalam Taktik Sepakbola

“Selalu ada pemikiran di balik sebuah tendangan,” kata non-flying Dutchman, Dennis Bergkamp.

Sofistikasi yang disuguhkan Bergkamp ini mencoba meyakinkan siapa pun kalau urusan sepak menyepak si kulit bundar tak melulu soal fisikal, bukan hanya aspek motoric atau semata perihal ilmu gerak. Sepakbola juga merupakan aktivitas kognitif, melibatkan pikiran, dan mengerahkan intelijensia.

Ini tak sesederhana kemampuan mengambil keputusan dalam waktu yang demikian pendek, dalam tempo sepersekian detik. Ini boleh jadi melibatkan sesuatu yang lebih sublim: bagaimana merumuskan sebuah taktik sepakbola yang bukan hanya ampuh dan mematikan, tapi juga mencerminkan ideologi politik? Baca lebih lanjut

4-3-3 Rasa Baru ala Mourinho di Chelsea

Tak terasa sudah hampir empat tahun berlalu saat Chelsea mampu mengangkat trofi Liga Inggris tahun 2010 silam. Selama empat tahun itu juga di setiap awal musim tim berjuluk The Blues ini selalu difavoritkan sebagai kandidat tim terbaik di Inggris. Namun prediksi tetaplah prediksi, bukan fakta yang terwujud nyata, Chelsea selalu gagal menjadi kampiun liga.

Memang di fase itu mereka mampu merengkuh banyak trofi dari mulai FA Cup, Europa League hingga Champions Leaque. Tapi belum lengkap rasanya jika menguasai Eropa tapi malah gagal menguasai kampung sendiri.

Berbagai upaya telah dilakukan Chelsea lewat kucuran uang Roman Abramovic yang tak bernomer seri itu. Estafet pergantian pelatih dilakukan berkali-kali, mulai dari Carlo Ancelotti,  Villas Boas, Di Matteo, Rafael Benitez hingga kembali ke Jose Mourinho. Dalam soal pemain, tercatat dari tahun 2010-2014 Chelsea sudah menggelontorkan dana 450 juta poundsterling untuk membeli 35 pemain, nama-nama baru seperti Cesc Fabregas, Diego Costa dan Felipe Luis masuk di dalamnya.

Yang patut menarik dicermati adalah dengan kehadiran pemain-pemain baru seperti Costa, Luis, Courtouis, Fabregas dan muka lama yang kembali yaitu Drogba, apa yang akan dilakukan Mourinho? Baca lebih lanjut

(Sejarah Taktik Brasil Bagian 3) Pola 4-2-4 dan Tiga Trofi Piala Dunia

Pada mulanya sepakbola adalah soal menyerang dan menumpuk banyak pemain di lini depan. Inilah taktik yang muncul pada awal 1900-an, terutama dengan menjamurnya formasi 2-3-5. Tapi kini kecenderungan taktik adalah dengan menempatkan banyak pemain di lini belakang dan hanya menyisakan satu dua orang untuk di area lawan.

Meminjam istilah buku taktik sepakbola populer karya Jonathan Wilson, sebuah pembalikkan piramida.

Ketika mencari titik tengah dari evolusi taktik itu, maka kita akan bertemu dengan formasi 4-2-4. Populer pada dekade 50-an hingga 70-an, formasi inilah yang mengenalkan kesadaran akan penggunaan backfour. Pola 4-2-4 juga yang jadi pintu masuk ke formasi-formasi modern lain berbasis backfour. Dan dari sana lahir 4-3-3, 4-4-2, 4-2-3-1 dan macam-macam variasi lain.

Jika mengingat 4-2-4, maka pikiran mayoritas penggemar taktik akan tertuju pada Brasil. Tak salah memang. Toh ketika 4-2-4 lazim digunakan pada empat gelaran piala dunia di era tersebut, tiga berakhir dengan Selecao sebagai juara (1958,1962 dan 1970). Lalu, saat menjuarai ketiga piala dunia itu, Brasil memang selalu memakai 4-2-4. Baca lebih lanjut

(Sejarah Taktik Brasil Bagian 2) Kedatangan dan Kehancuran WM di Brasil

Kala formasi WIM yang dicetuskan Herbert Chapman bersama Arsenal melanda Eropa, Brasil masih berjalan di tempat. Masih mengandalkan 2-3-5 yang bertumpu pada kemampuan individu dan tertinggal dalam perkembangan evolusi taktik.

Suatu hal yang ironis mengingat arus komunikasi dan informasi zaman itu boleh dikata tak terlalu kuno-kuno amat. Hubungan lewat telepon, telegram, dan media massa mempermudah komunikasi antara masyarakat Amerika Latin dan benua Eropa. Terlebih Brasil adalah salah satu negara Amerika Selatan yang memiliki interaksi erat dengan pedagang dan pelaut Eropa lewat bisnis kopi dan hasil bumi lain.

Ketidaktertarikan mereka terhadap taktik memang wajar, mengingat bagi masyarakat Brasil, taktik selalu berkaitan dengan kekompakan tim, dan bagi mereka hal itu adalah sekat-sekat yang membatasi akan individualitas yang selalu identik dalam permainan mereka (baca: Sejarah Taktik Brasil bagian satu).

Formasi WM sendiri boleh dikata amat sangat cukup telat untuk berkembang di Brasil. Seperti yang dijelaskan dalam tulisan pertama, Brasil baru sadar akan nilai berharga formasi WM saat mengalami kekalahan dari Yugoslavia tahun 1934. Baca lebih lanjut

Sejarah Taktik Brasil (Bagian 1) Kenaifan Taktik Sang Raja Sepakbola

Sejarah berkata bahwa Brasil adalah raja sepakbola. Tapi, sejarah juga menuliskan bahwa pada mula-mula, Brasil juga paling ketinggalan dalam urusan taktik.

Ya, dalam urusan sepakbola, Brasil memang negara adidaya. Lima tofi Jules Rimet yang mereka dapatkan tentu jadi bukti bagaimana kekuatan negara Amerika Latin ini tak tertandingi oleh negara-negara lain. Sebagai pemasok pemain-pemain sepakbola hebat, skuat timnas Brasil pun selalu dihuni pemain-pemain top Eropa yang punya skill mumpuni dan dibayar dengan rate gaji mahal.

Secara individu Brasil memang juara. Namun, sebagaimana dikatakan sebuah pameo terkenal, sepakbola bukanlah permainan individu. Sepakbola adalah soal kekompakan tim yang dipadukan dengan teknik dan taktik pelatih. Tentang bagaimana membuat satu tambah satu lebih dari dua.

Dan sejarah sepakbola berbicara bahwa Brasil terlambat dalam mengenal berbagai variasi taktik dan formasi. Bukan karena mereka bodoh dan tak mampu menerima ilmu sepakbola dari Eropa. Tapi ada sesuatu yang secara alamiah dimiliki oleh kultur Amerika latin yang berbeda dengan benua biru tersebut. Baca lebih lanjut

[Review Season Juventus 2013/2014] Kesuksesan Membenahi Sektor Lini Depan

Bersama dengan Antonio Conte, Juventus kembali mengulang masa kejayaan mereka seperti di dekade 30an yang menjadi scudeto secara 5 kali beruntun 1930-1935. Pada era modern torehan tiga kali Scudeto secara beruntun yang dilakukan Conte tentu adalah prestasi yang membanggakan. Terlebih  pada musim ini perolehan 102 poin yang diraih Juve adalah raihan terbaik sepanjang sejarah Serie A.

Boleh dikata, pada musim ini Juventus telat panas ketimbang dua musim sebelumnya. Sebuah hal yang aneh mengingat pesaing-pesaing mereka AC Milan dan Inter Milan pun mengalami hal yang sama. Pesaing mereka musim ini jelas AS Roma dan Napoli, kehadiran dua klub ini menguasai klasemen pada awal musim membuat sinisme orang akan kedigdayaan Juve di musim ini menjadi sirna. Baca lebih lanjut

Istimewa

Kenapa Banyak Pelatih Bagus adalah Mantan Gelandang Bertahan?

Kebiasaan yang berulang akan menghasilkan karakter, dan karakter adalah tipikal yang mudah terbaca.

Dalam sepakbola hal itu bisa terbaca, terutama, dalam konteks pemain yang beralih profesi menjadi pelatih.  Seorang pemain sayap, maka saat menjadi pelatih maka tim yang diasuhnya akan punya tekanan yang khusus pada serangan dari sayap. Begitupun seorang mantan striker maka dia pasti lebih fokus menyoroti taktik dalam konteks serangan, begitupun sebaliknya.

Namun ada teori menarik yang dipaparkan Jordi Cruyff kepada harian Daily Mail. Anak legenda Belanda, Johan Cruyff, menjelaskan bahwa sepanjang sejarahnya pelatih-pelatih terbaik di dunia biasanya adalah mereka yang saat menjadi pemain berperan sebagai defensive midfielder atau gelandang bertahan.

Orang boleh meragukan kapasitas Jordy saat berbicara isu taktik. Tapi ucapan Jordy itu terafirmasi oleh nama-nama pelatih yang dalam 10 atau 20 tahun terakhir ini dianggap punya capaian prestasi tertentu. Lihat saja nama-nama yang pernah membawa anak asuhnya menjuarai Liga Champions: Pep Guardiola, Fabio Capello, Rafael Benitez,  Roberto di Matteo, Vicente del Bosque, dan Frank Rijkard. Mereka semua bermain sebagai gelandang bertahan saat masih menjadi pemain. Baca lebih lanjut

Istimewa

Evolusi Taktik Bertahan (Bagian 1): Verrou dan Kemunculan Zonal Marking

Inovasi taktik berawal di Inggris lewat Herbert Chapman dengan formasi “WM” pada akhir 1920-an. Tapi, setelah itu, Inggris miskin inovasi. Richard Giulianotti dalam buku Football: The Sociology of The Global Game menyebut fase ini sebagai refleksi kemerosotan sepakbola Inggris di mata dunia.

WM memang mewabah ke seluruh dunia dan seringkali “dipribumikan” agar cocok dengan kondisi lokal. Di Eropa Timur, misalnya, secara signifikan dibumbui oleh pemikiran taktis Rusia dengan merotasi seluruh pemain di depan agar lawan kebingungan.Inilah refleksi  ideologi komunis yang menganggap semua pihak setara.

Di Italia dan Spanyol, WM yang dikenal dengan “Il Metodo” dan dikombinasidengan taktik “sistemo”yang sesuai karakter bangsa latin. Imbasnya, ciri khas WM yang mengutamakan keterampilan individu secara estetis dan praktis, tergantikan oleh kombinasi kerja sama antar lini. Baca lebih lanjut

Evolusi Taktik Bertahan (Bagian 2): Embrio Sweeper dan Libero dari Modifikasi WM

Umumnya, orang salah kaprah ketika menyebut libero dan sweeper. Jika mengacu pada posisi, libero dan sweeper punya makna yang sama: sendirian berada di depan kiper. Namun bila ditelaah lebih dalam, maka libero dan sweeper punya tugas dan peran berbeda.

Alangkah baiknya kita menelaah dulu evolusi pertama penggunaan seorang pemain di depan kiper, yang dewasa ini lazim disebut libero/sweeper. Sebenarnya ada istilah lain untuk sosok ini. Dalam bahasa sepakbola, ia dikenal dengan stopperspill.

Jika mengabaikan arti Libero/sweeper secara harfiah dan mengacu pada makna posisi stopperspill maka salah besar jika menyebut Helenio Hererra sebagi penciptanya.  Juga salah bila menyebut pencipta posisi pemain itu adalah Karl Rappan – seorang pelatih jenius asal Swiss. Baca lebih lanjut

[Menelaah Taktik Indonesia] Periode Akhir 1960-an: Mempopulerkan Empat Bek di Belakang

Lebih dari 40 tahun, Indonesia bermain hanya dengan 2-3 bek. Ini sebenarnya berkesesuaian dengan perkembangan taktik dunia kala itu. Piramida sepakbola memang baru benar-benar terbalik pasca periode 1980-an.

Lalu bagaimana caranya Indonesia mulai mengubah formasi 3 bek menjadi 4 bek sejajar?

Boleh dikatakan, Endang Witarsa adalah bapak formasi backfour di Indonesia. Dia juga kerap diidentikan sebagai pelatih yang mempopulerkan formasi 4-2-4. Hampir 10 tahun lamanya ia bereksperimen dengan formasi 4-2-4 itu.

Mula-mula, Witarsa mengujicobakan taktik itu di klub internal Persija, UMS, pada tahun 1955. Dan puncaknya adalah saat ia membawa Persija juara nasional pada 1964. Saat itulah 4-2-4 mulai populer mewarnai taktik di negeri ini. Baca lebih lanjut