Ultras dan Kemunduran Sepakbola Italia”

“Dari Italia, kau hanya akan mendengar kabar jelek belaka,”

Begitu tutur Cornelius Tacitus, sejarawan Kota Roma yang hidup pada abad satu masehi. Dalam sepakbola ucapan itu benar adanya. Selama satu dekade terakhir, sepakbola Italia tak henti-henti menelurkan drama, tragedi, skandal yang membuat orang muak. Dari mulai calciopoli, kekerasan suporter, skandal pemain amatir dan presiden klub, hingga ejekan bernada rasisme yang menggaung di berbagai stadion kerap mewarnai Serie-A tiap musimnya.

Terjerembab dan berkutat dengan permasalahan, prestasi klub mereka di tingkat Eropa pun semakin menurun. Rataan penonton berkurang drastis dan bintang-bintang enggan kembali berdatangan. Lantas, zaman keemasan pada dekade 1980-19990an, saat mereka didapuk sebagai liga terbaik, hanyalah kenangan basi masa lampau.

Di Eropa, peringkat koefisien UEFA negara ini pun sudah terpelanting ke posisi empat, tertinggal jauh dari Liga Inggris, Liga Jerman, apalagi Liga Spanyol. Bahkan, Liga Portugal –liga yang hanya menyumbang nama Porto, Benfica dan Sporting Lisbon sebagai klub yang akrab di telinga—pun sudah mulai menyalip. Posisi Italia kini terancam didepak dari empat besar.

Berada di jantung semua permasalahan ini, yang tak henti-hentinya mengalirkan racun ke seluruh tubuh sepakbola, ada kelompok bernama ultras.

Mari tengok saja aksi rasisme yang tak kunjung henti. Kasus terakhir menimpa pesepakbola dari klub AC Milan, Nigel De Jong. Kasus ini memang tak seheboh Dani Alves di Spanyol, tapi ini karena karena rasisme jadi makanan sehari-hari di Italia, sehingga tak banyak orang yang mau repot-repot mengurusnya.

Musim ini, tercatat hampir seluruh klub-klub besar yang dijatuhi denda akibat chant-chant bernada rasisme dan menyerang. Baik AC Milan, Inter Milan, Juventus, AS Roma, maupun Lazio sempat dihukum oleh FIGC.

Badan otoritas tertinggi sepakbola Italia itu juga sempat memberlakukan aturan akan menutup stadion jika yel-yel diskriminatif dan rasisme tetap terjadi. Namun, bukannya jera, kelompok ultras ini malah bersatu. Mereka melupakan perbedaan antar kelompok untuk melawan FIGC dengan cara akan menyanyikan yel-yel rasis. Tujuannya agar stadion di seluruh pelosok negara ditutup.

Seolah takut, ancaman ini membuat FIGC menunda penerapan aturan penutupan stadion tersebut.

Itu hanya satu cerita. Dari sekian banyak aksi di tahun ini, ancaman ultras Napoli pada final Coppa Italialah yang paling mencoreng citra sepakbola Italia. “Di Italia, sepakbola telah lama menjadi zona bebas tanpa hukum. Di dalam stadion, penjahat dan preman memiliki yurisdiksi penuh atas siapapun,” tulis wartawan olahraga Maurizio Crosetti dalam koran La Repubblica.

Apa yang dikatakan Crosetti ada benarnya juga. Tak percaya? Coba tengok saja rekaman dan berita-berita tentang laga final Coppa Italia Fiorentina menghadapi Napoli. Sang Perdana Menteri Italia, Matteo Renzi, pun mesti takluk di tangan Ultras Napoli.

Kala itu, simpang siur isu tewasnya seorang pendukung Napoli akibat tembakan polisi membuat ultras Napoli mengamuk di stadion. Jelang kick off, mereka melempari lapangan dengan flare dan bom asap yang sempat melukai seorang petugas pemadam kebakaran.

Para ultras ini pun membuat ulah dengan bersiul mencemooh saat lagu kebangsaan Italia dinyanyikan. Akibatnya, laga sempat tertunda setengah jam.

Negosiasi alot antara pihak keamanan, panpel pertandingan, klub, dan ultras tak menemui titik temu karena ultras Napoli tetap keukeuh meminta pertandingan untuk ditunda. Setelah dilobi dan diberi pemahaman bahwa korban penembakan terselamatkan dan dalam penanganan medis, barulah ultras memberi lampu hijau pertandingan untuk dilanjutkan.

Kita bahkan bisa melihat bagaimana kapten Marek Hamsik dan beberapa petinggi pejabat kepolisian beserta panpel pertandingan berjalan kaki mendatangi Curva Nord, tribun ultras Napoli ditempatkan di Stadion Olimpico. Mereka mengiba kepada ultras agar pertandingan diteruskan.

Padahal, dalam laga final itu, perdana menteri Italia hadir bersama beberapa pejabat tinggi lainnya seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Olah Raga, pimpinan Senat, ketua CONI dan FIGC (KONI dan PSSI-nya Italia), serta beberapa pejabat tinggi militer dan kepolisian. Bukankah orang-orang ini yang semestinya memberikan persetujuan tentang pertandingan dilanjutkan atau tidak? Sungguh ironis.

Adegan ini menjadi bukti kekuatan ultras yang tak bisa diremehkan. Menanggapi aksi ini, presiden FIGC, Giancarlo Abete, pun berujar, “sepakbola adalah korban dari berbagai kekuatan: ultras menggunakan stadion untuk menunjukkan kekuasan mereka. Ini adalah fakta, bahwa peran ultras di dalam stadion tidak dapat diterima lagi.”

Di Antara Sunyinya Tribun

Marco Di Domizio seorang pengajar di University of Teramo dalam jurnal ilmiahnya berjudul “Hooliganism and Demand for Football in Italy: Attendance and Counter-Violence Policy Evaluation” memaparkan penyebab tren penurunan jumlah penonton di stadion. Menurutnyaa,  80% disebabkan dari perilaku yang dilakukan kelompok Ultras.

Grafik di atas didapat dalam jurnal Marco Di Domizio yang mendata jumlah rataan penonton seria A dan serie B dari tahun 1962-2012. Terlihat bahwa jumlah rataan penoton mengalami penurunan saat kekerasan fans sedang meningkat.

Penurunan drastis pertama terjadi saat tewasnya pendukung Lazio akibat tembakan kembang api dalam derbi Roma musim 1979/1980. Pada tahun yang sama, skandal perjudian dan pengaturan skor Totonero mulai terkuak dan menyeret puluhan pemain, pelatih, serta pemilik klub serie A dan serie B kejurang kenistaan.

Pada 1982 jumlah penonton sempat meningkat drastis karena Italia menjuarai Piala Dunia. Namun kekerasan sepakbola semakin tak terkendali. Ini dipengaruhi juga oleh lahirnya kelompok-kelompok ultras baru yang terinfiltrasi budaya hooligan dari Inggris. Akibatnya, jumlah penonton serie A semakin berkurang selama dekade 80-an.

Puncak kekesalan masyarakat terhadap kekerasan sepakbola terjadi pada tahun 1989 saat pemerintah Italia untuk pertama kalinya membuat undang-undang khusus mengatur tentang ultras.

Aturan itu ternyata cukup efektif. Jumlah rataan penonton kembali meningkat pada awal dekade 90-an. Prestasi AC Milan di kancah Eropa, dan masuknya pemain-pemain elite dunia ke Serie-A, turut mendorong peningkatan jumlah penonton itu.

Tapi, pada 1999, sepakbola Italia kembali terjerembab. Empat pendukung Salernitana tewas terbakar. Mereka terjebak dalam kereta yang di dalamnya sedang berlangsung kerusuhan suporter. Salah seorang ultras melemparkan flare ke dalam gerbong, yang kemudian memicu kebakaran yang menewaskan empat orang fans itu.

Pada tahun yang sama, fans Lazio membakar sebuah kereta saat mereka tiba di stasiun kota Florence. Lalu, di Stadion Salernitana, ada juga peristiwa tentang pelemparan bom yang sempat melukai asisten wasit.

Selama musim 1998-99, tercatat 900 orang terluka akibat kerusuhan sepak bola, 75 orang ditangkap, dan sekitar 2.000 ultras teridentifikasi dan dilarang hadir di Stadion.

Tingginya angka kekerasan ini membuat Kementrian Dalam Negeri, Kemeterian Kebudayaan, dan Kepolisian membentuk  badan gabungan bernama Osservatorio Nazionale delle Manifestazioni Sportive. Tugas lembaga ini adalah untuk menangani kekerasan suporter sepakbola. Tapi, organisasi ini nyatanya gagal total.

Kabar Jelek yang Terus Ada

Titik terendah jumlah penikmat serie A terjadi pada tahun 2006/2007 saat rataan penonton di stadion hanya 18,756 orang/pertandingan– sebuah angka terburuk sepanjang 60 tahun terakhir.

Selain malas datang ke stadion karena muak pada kasus calciopoli, kemuakkan masyarakat Italia akan ultras juga semakin mencuat setelah adanya kasus kerusuhan antara pendukung Catania dan Palermo.

Dalam keributan itu, lebih dari 100 bom rakitan dilemparkan oleh ultras ke arah polisi, melukai 200 orang dan membunuh seorang perwira polisi. Konflik ini diperparah setelah pada tahun 2008 seorang penggemar Lazio tewas ditembak oleh pihak keamanan. Ini memicu adanya kerusuhan menentang polisi.

Pada saat yang bersamaan, pemerintah Italia mulai memberlakukan aturan Decreto Pisanu yang salah satu butir isinya mewajibkan fans memiliki Tessera del Tifoso [semacam KTP untuk fans]. Ide ini muncul untuk mempermudah klasifikasi terhadap seluruh fan, memecah mereka jadi dua bagian: suporter biasa dan suporter berbahaya.

“Dengan struktur baru ini kita menggunakan sistem teknologi canggih yang bisa segera mengidentifikasi tindak-tanduk para pelaku kekerasan. Dan, kemudian, bisa ditangani dengan segera di dalam stadion,” ucap presiden CONI, Giovanni Malago .

Apa yang dilakukan pemerintah Italia jelas sebagai kulminasi dari tak berdayanya pemerintah selama puluhan tahun mengurangi kekerasan yang identik dengan ultras. Pola otoriter yang mereka lakukan seolah meniru apa yang diterapkan Margareth Thatcher ketika memberantas hooligans di Inggris.

Meski dibenci kalangan sepakbola, Thatcher memang sukses memberlakukan aturan tangan besinya di Inggris. Lantas Italia? Maka kegagalanlah yang didapat.

Selama enam tahun terakhir, ultras tak pernah melewatkan kesempatan untuk protes dan menunjukkan kekecewaan mereka terhadap langkah-langkah represif yang dilakukan pihak keamanan.

Mereka bersatu dan melupakan perbedaan untuk bersama-sama menantang polisi dan federasi. Tak heran, kini kerusuhan cenderung terjadi antara ultras dan polisi, ketimbang ultras menghadapi ultras lainnya.

Di sisi lain, jumlah penonton dari pendukung biasa terus menurun akibat pengurusan birokrasi Tessera del Tifoso yang ribet dan njlimet. Sifat Tessera del Tifoso yang memaksa orang untuk membongkar hal berbau privasi, sekadar untuk datang ke stadion, membuat mereka malas untuk mendaftarnya.

“Terlalu banyak birokrasi untuk pergi mendaftar, setelah itu kita harus menunggu lama untuk menerima kartu, dan terlalu sedikit manfaat yang fans peroleh dari memiliki kartu itu,” ucap Paolo Bandini, seorang kolumnis The Guardian. Kondisi ini otomatis membuat stadion lebih banyak dijejali oleh kelompok ultras ketimbang pendukung biasa.

“Stadion kini jadi tempat yang mengerikan. Jika Anda seorang penggemar sepakbola, apakah Anda ingin membawa keluarga Anda ke stadion, dan keluarga Anda mungkin akan mendengar nyanyian rasis dan beresiko terjebak dalam kerusuhan?” tanyanya lagi

Ya begitulah ultras. Di negara asalnya, kini mereka dicap sebagai penjahat, perusak moral, dan penghancur tatanan sepakbola Italia. Sekelompok orang yang kadang hanya jadi pembawa kabar jelek belaka.

 

Tinggalkan komentar